20 Juni 2012.
Aku sedang duduk di lantai dua di rumahku. Lantai yang hanya berlantaikan semen yang kasar. Ya, rumah ini belum sepenuhnya jadi. Di atas sini hanya ada beberapa tumpukan kayu yang diikat dengan tali biru. Ditutupi dengan seng di atasnya agar saat hujan, kayu-kayu ini tidak cepat rusak.
Tidak ada dinding yang membatasi lantai dua ini. Orang bisa saja melihatku duduk di lantai ini dengan pikiran anehnya yang bertanya-tanya “Kenapa anak kecil itu duduk sendirian di atas sana?”
Saat ada orang yang melihatku duduk di lantai ini, aku merasa mereka menganggapku sebagai orang yang aneh. Tapi aku juga merasa bahwa yang sebenarnya aneh adalah mereka yang berpikiran bahwa aku aneh. Maksudku, apa salahnya duduk di atas lantai rumahku sendiri yang belum jadi ini? Apa dengan ini, aku mengganggu kehidupan kalian?
Aku rasa jawabannya tidak.
Sebagian rumahku—lebih tepatnya rumah orang tuaku—ini dibangun dengan satu lantai dan sisanya dibangun dengan dua lantai. Kami, keluarga ini, belum punya cukup uang untuk menyelesaikan setiap detail dari rumah ini. Itu artinya aku tidak tahu kapan rumah ini akan disebut sebuah rumah yang utuh.
Dan aku merasa baik-baik saja. Aku masih bisa merasakan apa yang disebut orang sebuah ‘kenyamanan’. Aku masih bisa merasakan udara sejuk saat angin berkeliaran di sekitar tubuh di atas sini.
Aku adalah satu-satunya orang dari keluargaku sendiri yang suka duduk bersantai di lantai dua. Mereka, keluargaku yang lainnya mungkin hanya pernah ke atas sini untuk menjemur pakaian mereka. Atau sekedar menaruh sepatu mereka yang basah sehabis di cuci dari kotoran jalanan.
Terkadang aku bosan untuk tidur di tempat yang sama. Maksudku, aku terkadang bosan untuk tinggal di rumah ini. Tapi, aku akan merindukan rumah yang membesarkan aku sekarang ini jika aku sedang berada jauh dari rumah untuk beberapa minggu.
Meskipun begitu, aku mencintai rumah ini. Sebenarnya aku tidak mau rumah ini menajdi utuh. Aku mau semuanya tetap seperti ini, aku masih mau menghabiskan waktuku untuk duduk di atas sini. Meskipun, aku tahu di lantai dua ini tidak ada apa-apa.
Tapi disini, ada atap bumi yang bisa aku lihat kapanpun. Atap yang berwarna biru saat siang hari. Atap yang berubah menjadi atap emas saat matahari terbenam. Dan atap gelap dengan titik-titik cahaya yang berkilauan saat malam hari datang.
Ini masih belum jam lima sore, jam dimana matahari akan menenggelamkan dirinya dan menghilang dari langit untuk beberapa jam kemudian. Sekarang aku duduk membaca buku yang membawaku ke masa depan nantinya, buku Chicken Soup for Entrepreneur’s Soul, dan membawa botol air minum 1,5 liter yang aku letakkan di lantai kasar ini.
Buku itu menceritakan pengalaman-pengalaman nyata yang dialami oleh pengusaha-pengusaha terkenal di dunia. Aku tidak tahu apa aku benar-benar yakin untuk menjadi seorang pengusaha.
Bagaimana jika aku gagal dalam usaha yang aku bangun sendiri? Aku juga bahkan tidak yakin jika suatu saat aku jatuh, apa aku bisa bangkit dengan dorongan dalam hati dan pikiranku sendiri?
Ketika aku sedikit disibukkan oleh buku yang aku pegang, aku terkejut saat aku melihat pelangi kecil di lantai abu-abu ini. Pelangi kecil. Mungkin pelangi ini bukan lengkungan spektrum dengan berbagai warna yang menghisai di langit seperti yang biasa kau lihat saat setelah hujan berkahir dan matahari datang.
Pelangi ini mungkin tidak melengkung, sinar matahari yang datang ke arah air ini melakukan pembiasan yang menghasilkan pelangi kecil. Pelangi itu terdiam di atas lantai. Aku menyodorkan tanganku ke arah pelangi itu dan telapakku mulai berwarna pelangi.
Seolah-olah aku sedang memegang pelangi. Hal ini tidak pernah terpikiran di benakku. Membawa air ke lantai dua sebetulnya hanya bertujuan agar aku tidak perlu berjalan menuruni anak tangga satu per satu untuk meneguk sebuah air mineral saat aku merasa haus di lantai dua.
Aku merasa tenang melihat kehadirannya.
Bibir kakuku mulai tersenyum melihat pelangi itu. Tanganku mulai menggoyang-goyangkan air di dalam botol besar itu dengan perlahan, membuat pelangi kecil itu terombang-ambing seolah sedang berlayar di samudra dan terjebak dalam badai yang sangat besar.
Aku mulai menyukai pelangi itu.
Aku mulai menyukai membawa air mineral ke atas sini.
***
Kau tahu, sampai sekarang, saat aku sudah menginjak umur tujuh belas tahun beberapa bulan yang lalu, saat aku sudah berada di tahun ketiga di sekolah menengah atas, aku masih tidak tahu apa-apa tentang menjadi apa.
Terlalu banyak orang yang aku tahu yang selalu seolah meneriakiku dengan kata-kata “Berhenti bilang kau tidak tahu apa-apa, tentukan apa yang kau mau dan yang kau suka!”. Mungkin tidak dengan kata yang sama, tapi garis besarnya begitu adanya.
You know. Aku masih muda, atau bahkan masih terlalu muda, dan terlalu banyak hal gila yang belum aku lakukan saat aku muda sekarang.
Aku sadar, kalau aku tidak melakukan hal gila berulang kali itu sekarang, bisa saja aku akan duduk di atas tempat tidur saat usiaku enam puluh empat tahun memegangi keriput yang ada di pipiku dan flashback betapa aku mengertinya hidup saat itu dan menyesal atas apa yang tidak aku lakukan saat aku masih muda.
Aku tahu roda bis terus berputar. Aku akan tersenyum indah saat aku mendapatkan baju baru dari kakek saat aku masih begitu kecil. Lalu aku akan tersenyum indah lagi saat aku bisa memilih baju baru yang aku inginkan saat aku masih remaja. Lalu aku juga akan tersenyum indah saat aku bisa membeli baju baru yang aku inginkan dengan uangku sendiri saat aku sudah beranjak dewasa.
Dan aku juga masih akan tersenyum bahagia saat aku bisa memberikan baju baru kepada cucuku saat aku sudah tua nantinya.
Aku hanya tidak tahu harus memikirkan masa depan yang bagaimana. Aku butuh arah. Maksudku, aku butuh orang yang bisa menuntunku untuk memilih jalan yang menuju ke masa depan.
Sekarang, saat aku memegang buku dan membaca beberapa kalimat yang tertulis di dalamnya, yang ku tahu adalah suatu hari aku hanya bisa memegang buku ini dan tidak bisa membaca beberapa kalimat yang tertulis di dalamnya. Atau bahkan hanya sekedar mengingat kalimat yang tertulis itu.
Ini sudah melewati pukul lima sore, matahari masih menyilaukan dari ufuk barat. Aku menutup buku yang ku pegang. Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan isi buku itu sementara pikiranku melayang membayangkan masa depan yang menyeramkan. Yang selalu menghantui setiap hariku.
Aku juga suka matahari yang menyilaukan.
Langit yang membentang di atasku sekarang seperti kain biru yang bermotifkan awan putih yang bergerak dengan paduan warna orange yang dipancarkan matahari.
Oh, kau tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang?
Matahari yang akan tenggelam itu seperi buah jeruk segar yang bersinar tergantung di langit bagian barat.
0 komentar:
Posting Komentar