Jumat, 30 Januari 2015 1 komentar

Main Hape Waktu Ujian

Waktu SMP dulu, gue pernah ketangkep basah main ponsel waktu ujian berlangsung. Waktu itu, badan gue masih kurus (Alhamdulillah sekarang juga masih kurang gizi), rambut gue belah pinggir, dan jarang senyum ke orang-orang. Ibarat kata, gue waktu itu kayak anak laki-laki yang sengaja dihilangkan dari daftar nama kartu keluarga.

Di tahun pertama, gue masih gelapagapan kalau disuruh ngomong sama orang lain. Gue gak akan ngobrol kalau gak ada butuhnya. Mau minjem alat tulis ke temen aja susah.

'Emm.. aku boleh minjem pentilnya, gak?'

'PENTIL?'

'Iya, pentilku patah soalnya.'

Satu menit kemudian gue baru sadar gue salah ngomong pensil jadi pentil.

'Gak ada. Pentil aku juga kemarin dipinjem orang tapi gak dibalikin.'

Ternyata, temen cowok gue tadi juga sama begonya. Kemudian, di tahun ketiga di SMP, gue mulai berubah menjadi murid yang agak nakal. Gue suka memainkan perasaan guru dan jadi bandar judi. (Becanda)

Gue udah berani niru-niru kelakuan yang kurang baik; ngeluarin baju seragam, kaus kaki dilipet sampai kedalam sepatu, dan pipis tanpa disiram. Gue juga udah punya hape sendiri. Itu pun pake uang gue sendiri, didapat dari hasil kerja keras gue sunat waktu lulus SD. Hebat ya, sekali sunat, dapet hape. Mungkin besok kalau gue sunat lagi, gue bisa beli mobil. (Iya, mobil ambulance)

Sampai suatu hari, ujian tengah semester pun tiba. Suasana ujian kebetulan lagi sepi, (Lah kan emang sepi), mata pelajarannya lagi gampang banget hari itu, ujian pendidikan jasmani dan rohaye. Semenit dibagiin, paling udah selesai. Ada remedial sekali pun, paling mentok juga disuruh beli bola kaki yang harganya 2 ribuan. Mangkanya, waktu itu gue agak meremehkan ujian beserta pengawas ujiannya.

Nah, disinilah semua tragedi itu terjadi.

Gue mainan hape di bawah kolong meja waktu ujian. Gue lagi chattingan sama cewek yang berada dua bangku di depan gue. Ceritanya, si cewek tadi minta gue jadi pacar bayarannya beberapa hari sebelumnya. Lucunya, gue gak dibayar sama sekali. Lucunya lagi, gue mau mau aja digituin.

Klise. Si pacar gadungan gue tadi pengin manas-manasin mantannya doang berlomba siapa yang punya kehidupan yang lebih baik setelah putus. Kayak sepeda motor ibaratnya, dipanasin mulu. Yaudah, kita chatting-an lewat mxit (aplikasi semacam Line, yang sekarang sudah punah) dengan kata sayang-sayangan.

'Gy ngaps nih, yank?' gue nanya sambil minta digampar. Jelas-jelas lagi ujian.

'Buta, ya, mas? Ini kan lagi mxit-an.'

'Ih siapa tahu kamu lagi kangen aku. Ha99x.'

Jijik ya lama-lama.

Karena gue terbuai oleh canggihnya teknologi saat itu, gue sampai lupa kalau ujian masih berlangsung. Suasananya masih tetap hening sampai tiba-tiba ada pengawas ujian yang berjalan cepat ke arah gue dan...

'Sini. Kasih hapenya!'

Gue rencananya mau ngelawan dan ngelempar hape gue ke luar jendela dan berkata, 'Tuh. Sana ambil, kalau berani.'

Nyatanya gue yang gak berani. Kalau kalian udah kelas 3, dan mau Ujian Nasional, nyawa kalian sekarang berada di tangan para guru. Hape gue diambil paksa, seperti preman yang ngambil permen dari mulut bayi. Gue pun langsung merenung dalam kesendirian dan mulai bertanya-tanya seperti dalam suatu adegan sinetron, 'Gue semalem mimpi apa ya kok bisa jadi begini?'

Saat jam ujian berakhir. Gue ke meja pengawas dan mulai dihakimi. Kalau waktu itu beneran sinetron, mungkin dia adalah majikan yang kaya raya, sedangkan gue hanyalah asisten rumah tangga yang dimarahin gara-gara mecahin piring plastik kesayangannya.

'Ini hapenya besok diambil orang tua kamu di meja guru. Biar mereka tahu kelakuan anaknya si sekolah seperti apa. Kecil-kecil kok sudah pacaran?!'

Dalam hitungan detik, bukan hanya bibir gue yang pecah-pecah, tapi hati gue juga.

'Jangan Bu. Saya janji gak bakal main hape lagi waktu ujian. Itu bukan pacar saya kok, Bu. Saya aja gak tahu cara nembak cewek gimana, Bu. (Bohong abis). Saya mohon jangan panggil orang tua saya, Bu.'

Gue berkata sambil mau nangis. Gue juga pernah baca artikel bahwa jika bola mata seseorang kearah kiri saat diajak berbicara, maka dia berbohong. Sebaliknya, jika bola matanya kearah kanan, maka dia berkata jujur. Yaudah, gue berusaha fokus ke arah kanan. Tapi malah jadinya gue ngelirik ke atas bawah kanan kiri depan belakang.

'Ini bocah matanya juling kali ya,' batin pengawasnya.

Kalau waktu itu memungkinkan buat gue sujud di hadapannya, mungkin bakal gue lakukan. Untungnya beliau gak minta hal yang sedemikian rupa. Berhala kali, perlu disembah. Setelah melewati negosiasi yang panjang, si pengawas ujian yang cantik ini (kata suaminya) akhirnya luluh dan mengembalikan hapenya ke tangan gue yang penuh dengan keringat. Uang hasil sunat itu pun sudah berada di tangan yang aman. Gue lega selega-leganya orang lega.

Kemudian, gue keluar kelas dengan hati yang lapang. Disana, gue udah ditunggu sama temen-temen gue, seakan-akan gue barusan masuk zona tidak aman dan akhirnya masuk ke babak final. Mereka semua baik banget, rela nungguin gue disidang di dalam kelas.

'Lo gakpapa?'

'Tadi ditanya apa aja?'

'Lo sempet mau ngegampar mukanya gak?'

Gue cuma senyum-senyum aja sambil satu badan panas adem semua. Setelah tragedi itu, gue trauma jadi pacar bayaran. (Secara gak dibayar, bro) (Palingan juga gak ada yang nawarin). Gue juga trauma mainan hape waktu ujian. Yang pasti, mulai hari itu gue udah stop bawa hape di saku celana pas ujian. Gak peduli Ujian Semester kek, Ujian Nasional kek, Ujian deres kek, gue trauma.

Emang bener ya, kadang guru itu memberi pengalaman yang terbaik. Dan seperti tulisan bijak yang ada di buku tulis, pengalaman adalah guru yang terbaik.
 
;