Sabtu, 20 Agustus 2016 2 komentar

#MyCupOfStory – Menguar Memori

Kelopak mataku perlahan terbuka pada udara pagi—menelusuri setiap celah dan titik di langit-langit, lekukan ujung dinding, dan bunga sedap malam yang duduk bergeming di bingkai jendela. Berbaring tubuhku kaku di atas ranjang ini, dengan kulit bibir yang kering dan tangan yang masih lemah untuk dapat mengepal. Tendengar seperti bunyi alarm, namun tidak membisingkan. Suara itu datang dari alat monitor, yang bisa lebih bising jika terjadi henti jantung dan muncul flat line di elektrokardiogramnya. Ada titik di lenganku yang diinfus dan saluran hidung yang disumpal selang pernapasan.

Aku tidak sedang bangun tidur—aku tersadarkan.

Seorang suster masuk ke dalam ruangan dan hampir menjatuhkan cangkir yang ia bawa. Gerak-geriknya ganjil, seolah mengatakan aku adalah pasien yang tidak punya harapan untuk hidup namun mendapat keajaiban untuk pulih. Aku mengikuti langkah kakinya semakin mendekat dengan kedua bola mata. Dia menaruh secangkir kopi di meja putih samping tempat tidur. Aromanya menyeruak ke seluruh sudut ruangan. Seperti berlomba-lomba agar harumnya aku hidu.

Arabica Gayo Pantan Musara.

Aku tahu karena kopi itu juga berasal dari tempat kelahiranku dan tempat aku dibesarkan—Aceh. Hidung ini bahkan bisa merasakan tingkat keasaman yang tinggi dalam kopi itu. Telihat riak air di permukaan cangkir seperti riak pada sungai air keruh yang dilempari batu kerikil.

“Selamat pagi, Bapak Adrian.”

Daguku hanya mampu mengangguk kecil. Entah telah terbentur apa, namun kepalaku sakit saat mencoba mengingat sesuatu tentang wajah perempuan pengantar kopi ini. Dari lencana nama seragam, ia bernama Tania. Tapi memoriku mengatakan bahwa itu bukan nama yang ia sandang sejak lahir. Ada sekelibat kecenderungan di dalam pikiranku yang mencoba mengatakan bahwa aku telah mengenalnya sejak lama.

Ia menekan pelan dahiku untuk memeriksa suhu badan. Tubuhku terperanjat, seakan-akan mendapat sengat listrik yang menjalar sampai ke ujung jari kaki. Ada sesuatu di dalam sentuhannya yang mendamaikan diri. Seolah tidak asing, namun penuh dengan keakraban.

“Apa yang terjadi dengan saya?” tanyaku pada Tania saat ia menanyakan apakah aku baik-baik saja. Sempat bibirku ingin bertanya hal lain, apa yang terjadi dengan kita?

“Anda mengalami kecelakaan, lalu dilarikan ke rumah sakit ini dua bulan yang lalu.” Dia membuka tirai agar cahaya matahari menerobos masuk. Dua bulan telah koma, tambahnya. Itu berarti butuh dua bulan pula untuk perempuan itu berkata selamat pagi pertamanya kepadaku. “Syukurlah Bapak Adrian tidak mengalami gegar otak yang begitu parah.”

Aku mungkin tidak ingat bagaimana pastinya aku bisa berakhir di atas ranjang ini. Namun saat cahaya membasuh wajah perempuan itu, aku bisa melihat pupil matanya pekat seperti Tuhan menuang sepuluh gram espresso tanpa crema yang kelam dan menenangkan—seperti malam tanpa bintang—di atas matanya.

Suster itu bilang bahwa aku diagnosa mengalami amnesia retrograde. Struktur neuroanatomical di otak menghambat proses mengingat kenangan. Itu menjelaskan mengapa kepalaku sakit saat mencoba mengingat kejadian yang terjadi sebelum memasuki masa koma. Namun, aku yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara aku dan perempuan yang sedang berdiri di sampingku ini. Jauh sebelum hari ini terjadi. Jauh sebelum masa ini berlangsung.

“Apakah memori saya bisa kembali?”

“Ingatan bapak akan kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Orang tua anda menyuruh agar setiap pagi dan malam ada aroma kopi yang menemani bapak Adrian saat koma.”

Itu menjelaskan mengapa aku selalu bermimpi tentang kampung halaman. Duduk di depan rumah melihat deburan ombak yang menyapu basah bibir pantai dari kejauhan dengan aroma kopi itu. Selintas, terdengar ayah dan ibu berargumen kecil dari dalam dapur. Sedang, tanganku menggenggam seorang perempuan berkaca mata. Wajahnya sebagian ditutupi rambut yang diterpa angin laut. Rambutnya panjang bergelombang alami seperti samudra yang hitam. Lalu, semuanya hilang sedetik sebelum aku bisa meraih bibir merah muda untuk dapat menciumnya.

Suster Tania meraih ransel hitamku yang tergeletak di kursi yang bersandar pada tembok saat aku meminta tolong kepadanya. Ada sebuah buku gambar watercolor tebal, kuas, mangkuk kaca kecil, dan beberapa buku sketsa beserta alat tulis.

“Makan pagi akan segera diantarkan. Apakah ada yang hal yang bisa saya bantu lagi?”

Aku mendongak lalu mengamati bola matanya tanpa izin. Seolah ingin mengoleksi kembali ingatan dari tatapan. Tepat pukul tujuh, hatiku luruh. Wajahnya sama dengan gadis berkaca mata dalam mimpi. Berbentuk oval. Namun tidak ada aksesori di wajah Tania. Rambutnya kini lurus sempurna dan hanya sebahu.

Aku ingat sekarang, dan lebih yakin kali ini. Aku mengenal perempuan ini. Tapi aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang kuharap tidak terjadi. Mengapa kamu memanipulasi realita? Mengapa kamu berbohong pada diriku, dirimu, dan pada debu-debu yang melayang di antara terobosan matahari pagi? Tania bahkan bukan namamu. Jika seratus kali aku harus mengalami benturan kepala, maka semua hal tentangmu lah yang akan menjadi opsi terakhir bagiku untuk lupakan. Namun, sayang manusia tidak bisa memilih apa yang ingin dia lupakan. Dalam sekejap, suster itu menyadarkan lamunanku dengan memanggil nama Adrian dengan awalan bapak.

“Tolong jangan katakan orang tua saya, atau siapa pun, jika saya sudah pulih. Saya hanya butuh waktu sendiri. Dan jika boleh, saya ingin lem kertas.”

Ujung lidah ini terasa pahit. Seolah belum terbiasa bicara menggunakan kata ganti saya dengan perempuan ini. Dia mencacat pesananku di atas kertas pasien. Aku melihat punggungnya meluncur pergi membawa bayangan tubuhnya. Kopi di atas meja putih itu bukan untuk bibir atau lidah, namun hanya untuk hidung. Tubuhku butuh asupan nutrisi makanan terlebih dahulu setelah dua bulan terbujur lemah, kata suster. Ditambah, aku kembali ingat bahwa ayah pernah bilang waktu minum kopi yang baik adalah pukul sepuluh pagi.

Aku meminta kopi baru yang masih panas setelah makan pagi. Cepat-cepat aku cegah suster itu untuk membuang kopi tadi pagi karena aku membutuhkannya untuk melukis. Wajahnya bingung. Seharusnya kamu ingat bahwa aku suka melukis dengan media ampas kopi yang tertimbun di bawah cangkir. Aku mengatakan padanya bahwa aku menggunakan lem kertas untuk dicampur pada cairan kopi agar mengental dan tidak melebar saat ditorehkan di atas kertas gambar.

“Apa yang ingin anda lukis?” tanyanya dari jauh.

“Perempuan dalam mimpi saya.” Aku menjawab sambil menggambar sketsa kasar wajah sang penanya. Bedanya, dalam dunia nyata, wajahnya lebih jelas karena rambutnya tertata rapi dan tak menutupi wajah. Yang paling penting, wajahnya nyata. Entah kapan jariku bisa menggamit setiap titik kulit wajahnya lagi. Sebelum ia pergi memerika pasien lain, aku ingin mengabadikan wajahnya di atas kertas putih ini.

Saat ia benar-benar pergi menutup pintu dari luar, aku menyeret kursi dan meja di depan jendela yang sarat akan cahaya matahari. Setiap seniman butuh pencahayaan yang bagus. Butuh ketenangan dan kesabaran—sama halnya seperti menumbuhkan biji kopi yang baik dan segar, kata ayah di kebun kopi milik keluarga dahulu. Menggambar dengan kopi memakan waktu, karena setiap layer warna butuh kering sampai benar-benar bisa ditumpuk dengan layer warna kedua dan seterusnya.

***

Waktu bergulir cepat seolah bumi berputar dengan buru-buru. Esok sore, lekas setelah matahari karam, lukisan itu selesai. Warnanya menguat saat menjadi kering. Garis tepinya tebal dan tegas. Satu-satunya hal yang aku gunakan untuk mewarnai matanya adalah sisa double espresso yang dibuat oleh sang suster siang tadi. Kala tadi, aku mengurungkan niat untuk bertanya apakah dia tahu ada seseorang yang mengendap masuk lalu diam-diam mencium dahiku sewaktu tengah malam lalu—atau itu hanya mimpi bodohku saja.

Sekarang dia melayangkan pandagan pada lukisan monokromatis ini saat mengantarkan makan malam. Wajahnya berseringai mulus. Lalu, tangan lembutnya menutup tirai saat kelam malam datang. Aku bilang kepadanya bahwa aku telah memberi nama pada lukisan pertamaku, setelah dua bulan tertidur—dan memimpikannya.

“Mengapa namanya berlian hitam?”

“Karena perempuan ini mempunyai mata seperti warna biji kopi yang sudah dikeringkan. Harum. Pekat. Dalam. Dan, misterius. Seolah menyimpan sebongkah rahasia yang ingin terus digali, dan dikeruk hingga habis.”

Atau mungkin warna biji kopi lah yang meniru warna mata perempuanku.

“Dia pasti perempuan yang cantik.”

Banyak hal di dunia ini yang tidak menyadari tentang keindahan diri—terutama dirimu. Cukup sederhana alasannya. Karena kau lebih sering terdistraksi oleh keindahan orang lain, lalu membuat dirimu bimbang untuk berlama-lama berdiri menatap cermin. Lempar jauh dan buang pergi pemikiran itu, karena cermin tidak tahu bahwa keindahan bisa menyeruak dari dalam diri, dari cara tertawa, dari cara berpikir, atau dari serengit wajah setelah bersin.

Andai saja kamu bisa jadi diriku sekali saja, maka kamu tahu—hanya dalam hitungan detik—alasan mengapa aku menamaimu berlian hitam.

“Apa lukisan ini tidak mengingatkanmu pada seseorang?” aku bertanya. Apa lukisan ini tidak mengingatkanmu pada dirimu sendiri? Ulangku dalam hati. Ia hanya menggeleng sejenak. Itu bukan bahasa tubuh yang kumau. Tubuhku terkulai lemas. Mungkin inilah saat di mana aku mengenal seseorang terlalu jauh sampai aku tidak sadar bahwa sebenarnya aku tidak mengenalinya sama sekali. Aku muak dengan sandiwara bodoh ini. Tak bisakah kau melihat bahwa aku sedang berusaha mengatakan bahwa aku sudah mengingatmu? “Namamu Alana.”

“Nama saya memang Alana, ini seragam milik saudari saya.”

“Kamu selalu mengeluh jika panas matahari menusuk kulitmu, tapi kamu tidak pernah merasa terusik saat panas membara di hatimu karena tutur bicaraku.”

“…”

“Kamu suka bersandar di antara akar pohon yang menjalar dan menatap langit yang berawan. Dinamis dan menenangkan, katamu.”

“…”

“Kamu selalu suka mencedok kecil vanilla ice cream affogato di ujung sendok yang kamu campur dengan potongan alpukat. Avocado affogato, kamu bilang. Padahal kamu tahu affogato tidak ada hubungan khusus sama avocadokarena yang mempunyai hubungan khusus itu adalah… kita.”

Kata terakhir itu hampir tercekat di dalam tenggorokan. Dia menatapku bingung. Mungkin tidak menatap, hanya melihatku keheranan. Telinganya asing terhadap setiap cerita yang aku muntahkan baru saja. Jujur aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini, atau di ujung sana—di dalam matanya. Tidak ada jiwa yang singgah di dalamnya. Seolah nyawa itu perlahan hilang dan terbuang saat napasnya menghembus keluar. Ratusan hari pernah kita lalui, saat dunia hanya milik berdua, seolah lenyap tergerus oleh hitungan detik.

Selama ini aku pikir melupakan itu hal yang sulit. Namun hal itu terjungkir balik baginya.

Aku masih ingat pertemuan pertama kita, sore penuh penat di kepala dan penuh pengunjung di sebuah kedai kopi. Kamu duduk di kursi seberang karena hanya itu kursi yang tersisa. Kamu bilang bahwa kamu percaya pada bulan puasa, bau surga ada di mulut manusia yang menjalankannya. Namun di hari lain, bau surga hanya bisa tertimbun di dalam biji kopi.

“Saya tidak mengerti maksud anda, pak Adrian.”

Terlambatkah bagiku untuk berharap esok hari kedua kelopak mataku terbuka pada kegelapan yang sunyi?

Apakah karena bagimu selama ini caraku mencintaimu keliru?

Atau mencintai seseorang dengan tulus itu sudah sewajarnya keliru?

“Adri. Panggil saja Adri.” Seperti yang selalu kamu lakukan dahulu, ingat? Raut wajahnya mengatakan tidak. Sudah lama tidak bertemu, namun kamu tak kunjung merindu. “Maafkan saya, tapi jika boleh saya tanya… Bagaimana keadaan saya waktu saya masuk rumah sakit ini?”

“Saya suster baru di sini. Dan, ayah saya adalah kepala rumah sakit ini.”

“Seberapa baru?”

“…”

“Bagaimana hidup anda sebelum menjadi suster?”

“…”

“Hal terakhir apa yang paling anda ingat?”

Lucu bahwa kepalaku yang terbentur, namun kau yang selalu melupa. Atau lebih tepatnya, sengaja melupa? Air mukanya berubah menjadi hilang akal, tak tahu kemana percakapan ini akan bermuara. Mulutnya terbuka dan tertutup seolah dirinya tak punya jawaban yang absolut tentang masa lalunya. Atau lebih tepatnya, sibuk menulis cerita palsu di masa lalu dalam pikirannya.

“Bercanda di atas ranjang dengan saudari saya sampai larut malam,” ucapnya pelan.

“Alana, tolong hentikan ini jika kamu sedang bercanda.” Suster itu termenung pada memorinya sendiri. Seolah terlalu banyak ingatan yang perlu ia gali. Memori yang tidak sengaja dilupakan, sekaligus memori yang sengaja tidak diingat. “Kakakmu, namanya Tania, sudah pergi. Sejak saat itu, kamu takut dengan jarum suntik. Serta benda tajam lain yang dapat menyakitimu. Maafkan aku, Alana.”

Kulit kepalaku bagaikan perlahan retak dan terbelah. Rasa ngilu yang menjalar seperti garis petir di langit malam ini membuatku mengerang kesakitan. Haruskah sesakit ini untuk mengingat sebuah kenangan? Secara cepat, aku mulai bisa kembali mengingat semua kejadian. Aku ingat saat Alana sedang terpukul mengurut pelipis di kursi depan mobil. Tanganku memegang setir dan satu lagi merangkul bahunya dari belakang. Hubungan kami tidak pernah direstui kedua orang tuanya. Waktu itu, lamaranku ditolak sang kepala keluarga. Ditambah lagi, Alana yang naik pitam dan memendam rasa bahwa ia selama ini tahu bahwa Tania adalah anak yang lebih dibanggakan daripada dirinya.

Aku melihat pedih dirinya runtuh dalam tangisan. Jalanan tidak lagi kupandang. Rasa sakit dalam kegelapan dengan cepat menyelimuti kita berdua. Sejenak aku berharap untuk sama-sama mati dalam keadaan tragis seperti kisah cinta klasik kesukaan kami. Namun, cinta dan raga butuh untuk diperjuangkan hidup-hidup untuk akhirnya bisa diabadikan.

Sekarang Alana menyadari diri dan memori miliknya yang sempat hilang. Aku ingin pergi dari sini, lirih katamu. Sebaiknya kita lebih hati-hati melangkah kali ini, tambahnya. Aku memeluknya dalam-dalam, supaya tidak jatuh ke dasar kekecewaan lagi. Bibirku akhirnya dapat mengecup dahinya pelan, berharap ia kembali ingat arti kenyamanan.

“Ingatkan aku lebih dalam, pada masa lalu.” Alana menggenggam balik remasan di antara jemariku saat berlari keluar dari rumah sakit. Secara harfiah, memang ini adalah rumah yang sakit. Kami mengendap keluar bagai pasien rumah sakit jiwa yang belum dan tidak bisa pulih dari kegilaan. Mungkin pada dasarnya, cinta haruslah gila. “Semua hal indah dan hal yang pahit,” tambahnya.

“Tapi, orang-orang di dunia ini berusaha mati-matian melupakan masa lalu yang pahit, Alana.”

“Aku tahu. Tapi, bukankah itu poin dari masa lalu? Jika yang ada hanya manis, kita tidak mungkin beranjak dari tempat lalu itu. Dan, rasa pahit lah yang menggiring kita ke masa depan. Aku ingat, seseorang pernah bilang bahwa tidak semua kopi harus disandingkan gula atau susu. Bukan maksud kopi untuk memahitkan lidah, namun memang begitu wujud aslinya.”

Apa aku sudah bilang bahwa keindahan bisa datang dari cara seseorang berpikir?

“Siapa orang itu?”

“Dia adalah seseorang yang selalu minum kopi americano setiap pagi. Arabica Gayo Pantan Musara adalah favoritnya. Selalu ingin ada crema yang terjaga di atasnya. Aku lupa nama orang itu, tapi sepertinya dia sedang berada di sisiku sekarang.” Alana menggodaku. Maaf jika aku lupa bilang bahwa senyumnya juga menenteramkan relung hati.

“Selain affogato, sudah ingat belum kalau kamu lebih suka flat white daripada cappunico?”

“Oh ya? Kupikir sebaliknya.” Aku tergelak mendengarnya.

Good girl. Memang yang benar adalah sebaliknya, aku hanya menguji ingatanmu.”

Kami mencinta seperti pasangan yang baru mengenal asmara. Kembang api meledak tanpa henti di dalam perut kami. Bersorak-sorak bahagia karena cinta seharusnya memang selalu begitu adanya. Saat benar-benar berhasil keluar dari rumah sakit, aku menggenggam tangannya lebih erat dan berlari dengan penuh tawa dan kejayaan. Kami bebas dari belenggu ingatan. Kami bebas untuk kembali mencinta dalam rintangan.

Kau tahu, Alana? Aku yakin bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi tidak semua kebahagiaan bisa dibeli, karena ada jenis kebahagiaan yang hanya bisa diberi. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang terbentuk dari lima huruf, satu kata, berjuta makna—cinta.


Dulu aku sudah mengenalnya seribu tahun, kini biar dia yang mengenaliku seribu tahun lagi.

AM
Sabtu, 13 Agustus 2016 0 komentar

Tetangga Masa Gitu part 2: Buaya Betina

Seperti yang kalian duga, ini adalah lanjutan dari catatan sebelumnya. Oke, mari kita sebut ratu kita dengan sebutan Buaya Betina. Sembari kalian sedang membaca ini, pertentangan dalam rumah tangga (baca: indekos tangga) wanita itu masih berlanjut. 

Jadi, di depan rumah gue ada tempat duduk untuk nongkrong atau kalau dalam bahasa inggris artinya tempat untuk chatting and basically doing nothing. Kemarin malam, gue melihat sang suami buaya itu memakai singlet putih dengan celana kain lengkap dengan ikat pinggang yang menahan perut yang mecuat duduk di tempat itu. Ditambah dengan bulu keteknya yang menjalar sampai ke tembok Cina. Tipikal bapak-bapak zaman sekarang. 


Saat gue melintas, dia menghembuskan napas dengan keras. Kerasa sampai ke pantat. Beban yang harus dipikul olehnya nampak semakin berat setiap detiknya. Gue jujur kasihan, mukanya lesu kayak belum makan. Mau gue lempar daging mentah ke mukanya, takut ngamuk dan minta dagingnya digoreng dulu. 


Beberapa menit sebelumnya, dia habis menyantap kudapan ringan sebelum tidur, yaitu: omelan si buaya betina. Kenapa gue bisa denger? Karena gue punya kuping. Tapi kala itu dia marah gak sambil nyanyi, mungkin takut disawer warga pake sembako (Iya, jadi gula satu kilo diselipkan di tali kutangnya). Hari sudah sangat larut, waktu itu sudah jam 11 malam, gak mungkin lah dia nyanyi. Kemudian, di sanalah suaminya duduk, memegang ponsel di tangan kanan dan rokok di tangan kirinya. Pas gue menoleh, eh dia main tetris. 


Jadi, beberapa hari yang lalu gue akhirnya memberanikan diri untuk tanya ke mamak gue perihal kasus si wanita tercantik seindekos sebelah. Kita berdua lagi ada di dalam toko mamak gue, yang letaknya di samping tempat duduk tadi.


“Lah, kenapa tiba-tiba tanya begitu?”


“Ini, nganu, teman-temanku di facebook, mereka pengin tahu.”


Jadi, kalau ini dianggep dosa, gue akan sebutin nama-nama kalian biar masuk neraqa barengan. Pertemanan ini indah, bukan?


Malam saat gue mewawancarai narasumber (a.k.a orang yang melahirkan gue sendiri) itu, sedang turun hujan kecil yang menusuk lembut tanah dan bebatuan sekitar. Seperti kebanyakan reporter, gue merekam perbincangan kami dan gue yang nanya duluan. Awalnya gue bilang bahwa sebulan yang lalu, ada desas-desus yang mengatakan bahwa si Buaya Betina ini udah punya anak masih SD dan dia pernah datang mengunjungi “mama”nya ke tempat indekos.


Saat mendengar itu, kedua mata mamak gue tiba-tiba berkobar merah, tertawa sinis, menggesekkan kedua telapak tangan, lalu siap untuk memuntahkan kenyataan yang sebenarnya. Benar, ternyata si ratu sumur kita sudah punya anak. Bukan satu, dua atau tiga, tapi empat. Herannya adalah, gue selama ini gak tahu menahu. Tapi setelah gue baca-baca, emang buaya itu kalau sekali bertelur bisa sampai dua puluh biji sih.


Lebih lanjut, mamak gue bilang bahwa dia punya suami pertama yang tinggal 5 km dari tempat indekosnya. Kalau gue boleh kasih nama, dia dalah mantan pacar lima langkah yang sekarang jadi mantan suami lima kilo. Gila, ini orang. 


Gue akan memaparkan kronologis sejarah laki-laki siapa aja yang pernah singgah ke dalam perangkap buaya ini. Jadi, pada mulanya, dia punya suami—entah dari kapan, mungkin sejak zaman perang dingin. Intinya udah dulu sekali, namun si buaya belum menempati indekos rumah gue. Nah, sama suami inilah dia kemungkinan punya anak empat itu. Yang kalau ditambah satu di depannya, jadi empat belas.


Kemudian, saat dia pindah ke indekos rumah gue, dia membawa lelaki baru yang sama tingginya dengan dia itu. Tapi, udah ketebak kan, mereka pisyah ranjang karena si buaya kalau tidur selalu makan tempat dan makan ati orang di sebelahnya. Setelah pisah dan mencicipi beberapa lelaki kardus, akhirnya dia bersama lelaki baru yang sekarang masih bertahan—yang gue bilang mainan tetris malem-malem tadi. Badannya lebih besar dan lebih dewasa.


Belum kelar urusan, eh ternyata si bapak-bapak main tetris ini ternyata terungkap sudah punya istri lain terlebih dahulu. Kasihan aku sama kamu om, niatnya mau dapet lubang wanita, eh malah dapet lubang buaya. Selamat ya, oom. Aku turut prihatin.


“Padahal ya dek, istri tuanya itu putih dan chantique banget,” puji mamak gue. Bagi kalian yang belum sadar, secara tidak langsung, kalimat itu menyimpan ejekan bagi sang ratu buaya sejagad raya. Pantesan, gue akhir-akhir ini merasa bahwa passion gue adalah mencela orang diam-diam.


Jadi suatu hari, si buaya betina ini lagi ngamuk sama sang suami. Cewe kan gengsi dong, masa lagi berantem tapi satu ranjang sama cowo. 


“UDAH PULANG SANA!” tiru mamak gue waktu diwawancara.


Kalau di rumah sendiri kan enak, sang suami bisa tidur sofa depan rumah. Lah ini, kamar indekos yang dibuat kuburan lima orang aja gak cukup. Mau diusir ke mana lagi kalau gak ke rumah istri tuanya? Tidur di pinggiran sumur? Kan enggak.


Gobloque-nya adalah si suami ini minta jemput istri tuanya DI DEPAN RUMAH GUE. Aduh oom, lain kali kalau selingkuh pinteran dikit kenapa? Ambil kuliah semester pendek sanah. Logikanya, kalau situ selingkuh lalu didepak sama selingkuhan dan minta jemput istri tepat di depan kediaman selingkuhanmu, itu maksudnya mau apa? Mau berbangga diri terus pamer ke semesta?


“Aku dong, yang, udah selingkuh hari ini. Makin cinta gak kamo nya ama akoh?”


Jalan ke mana kek. Ketemuan di depan kuburan kek. Janjian di parkiran indomaret kek.


Kalau gue jadi istri tuanya, akan gue tarik tytydnya sampai lepas dan gue suruh dia telen sampe itu gelambiran tumbuh lagi di tempat asalnya. Gue ulangi terus sampai dia jadi pinteran dikit. Bukannya apa-apa ya, karena kebodohan sang suami itu, akhirnya mamak gue yang ikut kena imbasnya.


Beberapa hari setelahnya, si istri tua tentu balik lagi dong ke tempat dia jemput suaminya yang bermain dengan wanita lain ini. Di pagi itu, si istri tua ini sampe bawa-bawa anak yang seumuran gue (hint: gue umur 17 tahun), lapor mamak gue. 


Kalau mamak gue adalah ibu kos yang kejam, mungkin dia akan menghadang jalan istri tua itu sambil bertolak pinggang dan bilang:


“MAU APA LO KESINI?” sambil dagunya diangkat-angkat.


Tapi karena mamak gue gak punya urusan (kecuali kalau ada yang bayar uang sewa telat), akhirnya waktu si istri tua nanya di manakah kamar si buaya itu, mamak gue berbohong kalau si desye udah pindah tempat indekos. Untungnya waktu itu pagi, si buaya lagi kerja di tempat makan seberang jalan. 


Dih, kalau gue yang menjabat sebagai ibu kos saat itu, mungkin gue akan menunjukkan kamar mana yang dijadikan penangkaran sang buaya. Karena sejatinya gue tahu betapa sakitnya diselingkuhin. Gue ingin membela setiap insan manusia yang diselingkuhi oleh pasangannya untuk membalas dendam. Lebih licik lagi, akan gue suruh si istri tua ini untuk mendekam di atas kasur sambil menunggu sang selingkuhan suaminya pulang dari kerja. 


Waktu pas udah beneran pulang, gue ngebayangin si istri tua akan terlentang di atas kasur sambil tersenyum kuntilanak ke arah si buaya betina seolah ingin mau makan ari-ari bayinya Nasar.


“SURPRIISEEEE!!!”


Kemudian mereka akhirnya jambak-jambakan sampai gundul dan gue rekam pertengkaran mereka sampai jadi viral dan akhirnya mereka direktrut jadi upin & ipin jadi-jadian atas jasa gue. Dan gue pun jadi kaya dadakan. Hidup ini selalu indah jika hal hanya terjadi di dalam kepala.


Oke, semua orang punya masalah masing-masing di hidupnya. Hanya saja, ada beberapa yang tidak mampu menahan untuk dirinya sendiri—yang mengakibatkan suka teriak gak jelas di tengah malam. Hanya aja, ada beberapa pula yang suka mengumbar aib orang—yaitu gue (atas permintaan kalian). 


Sebagai catatan, gue tidak bilang apa yang dia lakukan itu salah dan pantas dapat barisan pertama paling depan di neraka nanti. Jadi kalian jangan sampai salah kaprah, si buaya betina ini gak ternak suami kok, tapi ternak suami orang. Wkwk


Semua orang, termasuk si dia (yang walaupun gue sebut buaya terus), pasti pengin punya orang yang tepat dalam suatu hubungan abadi di masa hidupnya. Cinta kan masalah kenyamanan, kata anaknya sule. Tapi membangun komitmen dan keluarga, menurut gue, butuh keajaiban. Dan satu-satunya keajaiban yang gue percaya adalah keajaiban yang datang dari dalam diri sendiri. 


Gue sering ngebecandain temen-temen gue yang mau nikah cepet-cepetan dengan pertanyaan, “Mau diracun apa mau dimadu?” yang terinspirasi dari lagu madu dan racun.


Semua bilang kalau gak mau dua-duanya (yaiyalah). Gak ada motif tertentu kenapa gue tanya begitu. Atau mungkin, secara tidak langsung gue mengatakan bahwa cinta itu hanya akan melakukan dua pilihan: membunuhmu atau menyakitimu.


Pas gue udah udah mau selesai wawancara, hujan ikutan latah mau reda juga. Eh gak tahunya, di tempat duduk sebelah toko, ada siapa? Ada si buaya wanjink itu lagi nyanyi dangdut. Meskipun terhadang tembok, siapa lagi wanita yang ada indekos rumah gue selain dia seorang? Nyanyi lagi. Untungnya, gue lagi-lagi gak tahu dia nyanyi lagu apa.


“Itu suara siapa, dek?” lucunya mamak gue sempat nanya begini di keadaan genting seperti itu. Kayak pemeran film yang sudah jelas-jelas denger ada tuyul ketawa, tapi tetap nanya, “Itu suara siapa, dek?”


“KUCING, MAK. KOCINK!” jerit gue dalem ati.


Gue sama mamak gue kelabakan grusak-grusuk mencari tempat untuk sembunyi. Saking asiknya ngobrolin orang, kita berdua tergerus dalam kesenangan membongkar aib orang sampai lupa kalau dia itu jaraknya gak sampai 50 meter dari tempat kami melakukan sesi wawancara. Mamak gue nyengir dan sedikit menyesal kenapa gak ada yang nyadar si boayahhh itu sudah nangkring di situ. Entah sejak kapan, bodo amat. Gue berseringai aja sedari tadi karena ini berarti gue gak akan dosa karena ngomongin orang di belakangnya, karena dalam kasus ini gue ngomongin orang di sampingnya. Wakakaka


Terima kasih.




Cerita bonus


Sore tadi gue mendengar percakapan tipis antara dua orang laki-laki yang juga merupakan orang indekos sebelah. Yang satu laki-laki perantauan, yang satu lagi laki-laki yang suara dan kelakuannya mirip perempuan. (Jika kalian heran, mamak gue memang membuka indekos ini untuk semua jenis manusia—dengan satu syarat: mampu bayar.)

Laki-laki perantauan dengan suara beratnya berkata, “Habis mandi.” Sebuah basa-basi, mencoba untuk sopan.

“Oh mandi…” sahut si bancique. Lalu tiba-tiba ia menimpali lagi, “mandi apa?”


“MANDI BESAR”, jerit gue dalam hati.

0 komentar

Tetangga Masa Gitu

Sebelum jauh, gue cuma mau memperingatkan bahwa catatan ini isinya untuk ngebongkar aib orang. Singkatnya, ini ghibah. Jadi, kalau belum siap mendengar kenistaan tetangga-tetangga gue, hendaklah kalian tutup catatan ini sesegera mungkin.

Terima kasih.

Struktur bangunan rumah gue yang ada di Surabaya (dan cuma ada di Surabaya) itu seperti kereta api, memanjang ke belakang. Di samping kiri rumah, ada beberapa kamar indekos yang jumlahnya ada lima biji.

Yang pertama, di mulai dari kamar paling depan, kamar indekos disewa oleh seorang pria mid-20s, kerjanya di seberang jalan raya. Kira-kira kalau jam masuk kerjanya jam 7 pagi, dia masih bisa sikat gigi tampan dulu jam 06:55, saking deketnya. Orangnya diem, saking diemnya kalau tidur pun gak pernah mau diajak ngobrol.

Combonk qm, mz.

Dia satu-satunya yang gue anggap manusia…. bhaique-bhaique (jika dibandingkan penghuni indekos yang lain). Tidak pernah berulah, membuat masalah, atau membuat kesengsaraan. Yang paling penting, selalu teratur dan gak molor waktu membayar tagihan bulanan.

Yang kedua, kamar yang satu ini isinya kumpulan laki-laki perantauan. Kalau malam minggu, mereka suka ngajak orang lain untuk bercanda ke dalem kamar dengan pintu yang terbuka lebar dan dinding yang dirobohkan. Keras banget ngomongnya, sampai-sampai mengalahkan toa masjid. Menggelegar ke seluruh penjuru dunia. Bedanya kalau toa masjid itu mengundang kebaikan untuk orang melakukan ibadah sholat, kalau para lelaki ini mengundang kebaikan untuk orang berlomba-lomba untuk nabrak mulut mereka pake ban mobil. Terus dibakar dah bannya.

Kalian masih ingat film tentang ibu juragan yang suka merokok dan punya jurus auman singa yang bisa memorak-porandakan rumah di film Kungfu Hustle, gak? Iya, para laki-laki ini adalah Yuen Qiu di film itu namun versi jantan.

Ditambah lagi waktu hari libur seperti Sabtu dan Minggu, mereka pagi-pagi udah bangun nyalain lagu pakai pengeras suara. Volume-nya dibesarin, pintu kamarnya dibuka. Suaranya mengarah ke rumah. Setelah itu, gue minta tolong tetangga lain berbondong-bondong mengarak mereka ke laut untuk dijadikan tumbal pesugihan. Gue gak mempermasalahkan lagunya, tapi volumenya mas tolong ya dikecilkan kuping aku rapuh dan gampang berdarah jika setiap minggu mendengar lagu-lagu kacangan seperti itu.

Pengen banget suatu hari gue bilangin bahwa ini bukan hutan. Di sini pohon udah jarang, jalan sudah diaspal, peradaban semakin maju. Kebahagiaanmu bukan berarti kebahagiaan orang lain, wahai saudaraku. Di mana bumi dipijak, di situ jangan seenaknya sendiri. Mereka adalah 1 dari 10 manusia yang menurut gue sering dapat teguran dari pemilik indekos.

Dih, pantes, kelen pasti diusir kan dari tanah kelahiran! *kabur* 

Yang ketiga, tetangga yang paling parah. Pada suatu hari, hiduplah seorang wanita yang usianya memasuki kepala empat. Kayak naga gitu bentuknya—kepala empat dan suka nyembur. (Soal umur gue pun tak begitu yakin, besok-besok kalau ada waktu gue mau memfoto dia pake kamera yang bisa mendeteksi umur dan zodiak). Kerjanya juga di seberang jalan raya, di sebuah tempat makan. Drama mulu hidupnya, tapi gak ada Korea-nya. Dia sering gonta-ganti pasangan. Dulu, ketika awal masuk perindekosan (ceilah), dia membawa seorang suami yang tingginya sama. Cek-cok mulu, seperti pasangan Married by Accident, yang artinya nikah karena tabrakan.

Setelah beberapa tahun, gue yakin si laki-laki ini gak tahan sama si wanita dan memutuskan untuk pergi. Akhirnya, setelah pergi, si wanita sering bawa lelaki kardus ke dalam kamar kalau malem minggu pada pukul 11 malam. Iya, sampe hapal banget gue jadwalnya. Lelaki kardus yang dimaksud di sini adalah kardus, yang isinya laki-laki kencrot.

Gak ada setahun, dia sudah membawa laki-laki lain, yang gue asumsikan sebagai pasangan serius untuk tinggal di indekos bersamanya. Bodo amat udah nikah apa belum, yang penting jangan nunggak bayarnya. Ini nih, problematika orang indekos. Apa-apa nanti, apa-apa nunggu bulan depan. Pernah sampai nunggak dua bulan, si wanita ini dikunci sama mamak gue dari luar. Kejem ya mamak gue ternyata. Usut punya usut, ternyata dikuncinya pas si wanita ini sedang keluar kamar indekos.

Jadi waktu itu kejadiannya dia lagi mandi (kamar mandi luar), terus mamak gue jalan berjinjit, mengendap masuk ke dalam kamar dan mengunci dari luar. Terus kuncinya dibuang ke sumur. Biar dia loncat dan berenang ke dalem sumur belakang rumah yang banyak buayanya itu. Kalau emang dia gak nemu buaya, ya berarti dia sendiri buayanya. Emang ngeselin sih nih orang. Tapi sehabis mandi itu, dia nangis-nangis supaya boleh masuk kamar dan janji bayar uang sewa secepatnya.

Dia membawa banyak sensasi dan kontroversi ke dalam hidup gue, lah iya orang kita tinggal sebelahan. Ibaratnya, kalau gue jatuh dari kasur waktu tidur, bangun-bangun gue bisa ada di kamarnya dia. Wkwk lhebay

Si wanita berbadan emak-emak ini suka pake minyak wangi. Masih mending satu atau dua jenis, semua jenis minyak wangi yang di jual di jalanan pernah dibeli sama dia. Entah itu minyak wangi atau minyak firdaus yang dibalurkan ke badan. Sampe-sampe, kamar indekosnya bau racun. Baunya kecampur-campur, semacam kaus kaki yang lembab dikasih Kispray. Ya gak enak lah, mbak. Lama-lama aku tepok juga nih jidat sampean pake palu. Jadi, kalau mau lewat depan kamar si wanita ini, harus pake penutup mulut, jangan bernapas, atau kalau bisa berjalan merayap di atas langit-langit sekalian. Masyaallah, baunya sengak ampun-ampunan.

Dia ini wanita satu-satunya di indekos, jadi berasa seperti ratu. Suka teriak-teriak kalau lagi cek-cok sama suaminya. Iya, bahkan sama suami baru masih tetep bertengkar. Aku daftarin tanding tinju di atas air mampus kamu mbak! Susah hidup sama ini orang, kalau gue jadi suaminya, gue akan mengikat dia pakai tampar timba sumur ala-ala Fifty Shades of Grey lalu gue bakar deh kasurnya waktu tidur.

Lucunya, dia kalo marah sambil nyanyi.

Baru-baru ini, sepasang suami-istri ini lagi kongkow di sumur belakang rumah. Suara si wanita udah kaya terompet sangkakala, udah cempreng, keras, kedenger sama gue lagi.

“LAH INI ADA BIBIR DI KAOSMU, HA! APA? MASIH NGEYEL?” teriak si wanita.

Si laki diem aja. Wanita zaman sekarang kan emang gitu, semakin dibales, semakin beringaslah dia.

Sejenak kemudian, dia nyanyi lagu yang gue gak tahu apa judulnya. Dangdut abis.

“Lalu untuk apa kau memanggilku woooo... tiba-tiba, kau minta maaf padaku…”

“GAUSAH PEGANG-PEGANG!” sembari terdengar suara gamparan tangan pada lengan laki-laki.

Nyayi lagi. “Aku ingin kau pergi dari dalam hidupku…”

Si laki ini, gue asumsikan, sedang duduk di tepi sumur dan siap lahir batin untuk dijedotin palanya sampe mampus. Rada ngeselin hati ya, mereka yang punya masalah, orang lain yang ikut keganggu. Satu lagi kebiasaan yang menurut gue buruk, dia kalau mandi selalu pakai kemben batik seperti perawan desa yang suka mandi di balik batu sungai. Ya kali mbak, udah tahu kamar mandinya di luar angkasa, masih aja pamer aurat sambil lari-larian dengan rambut yang masih basah. Dipelorot kucing nangis kamu.

Yang gue suka dari wanita ini, adalah dia suka bawa makanan dari tempat makan untuk dibagi-bagikan ke rumah meski jarang. Udah, segitu aja pujiannya. Kalau mau pujian yang panjang, silahkan datang ke masjid dan mushola terdekat. Banyak. Lima kali sehari.

Hikmah dari tulisan ini adalah… gak ada. Orang ini ghibah, mana ada hikmah dibalik ghibah. Lah, sewot.

Terima kasih.
 
;