Di usia 18 tahun, gue kembali teringat tentang seminar yang waktu itu menampilkan gambar seseorang yang menuliskan mimpinya dalam secarik kertas. Dia diketawain oleh teman-temannya karena mimpinya yang bisa dibilang akan membuat orang berkata, "Mimpi lo?!"
Kumpulan mimpi dalam sebuah kertas. Kumpulan harapan dalam ujung angan. Di tahun-tahun yang sudah berlalu, seperti yang kalian sudah duga, dia mampu meraih semua mimpinya. Dengan kertas yang semakin panjang dengan coretan mimpinya.
Gue sendiri juga ikut-ikutan menuliskan mimpi-mimpi dalam kertas. Bahasa kerennya bucketlist. Disitu umur gue masih 18 tahun (alhamdulillah sekarang udah mau mati), gue nulis mimpi yang konyol juga sih sebenarnya. Mimpi yang kadang akan bertahan jadi mimpi.
Salah satu dari bucketlist itu adalah bertemu dengan Raditya Dika. Cowok bantet berkumis tipis yang followersnya 9 juta. Dimana, 8.9 juta followersnya adalah keluarganya sendiri, aku Raditya Dika saat itu.
Bulan Desember 2014 lalu, gue ikut pre-order buku terbarunya Radith, yaitu Koala Kumal. Disitu, pre-order dibuka pukul 00.00. Udah macam artis aja ya. (Emang iya rip. Emang gitu). Gue bela-belain begadang untuk pre-order bukunya. Demi seorang laki-laki yang gak akan pernah folback gue di twitter. Mention aja gak pernah dibales. *siul-siul sambil nangis*
Di malam natal, 25 Desember, paket buku Koala Kumal dan kaus Koala Kumal dateng. Detik itu pula, gue berasa kayak udah berhasil menjadi anak yang baik dalam setahun kebelakang, dan layak mendapatkan hadiah dari Santa Clause. Iya, gue habis ngehirup ganja. Maafin.
2 Februari 2015. Diadakan Meet and Greet dan Book-signing buku barunya Raditya Dika di Surabaya. Gue dateng sama temen-temen gue, tapi gue doang yang antri untuk minta tanda tangan. Waktu itu ada dua cewek yang antri di depan gue. Gue ajak ngobrol sekali, mereka tiba-tiba pingsan kayak habis dihipnotis. Disitu saya kadang merasa sedih. Mungkin gue lupa sikat gigi 3 hari sebelumnya.
Meet and Greet kali itu diadakan di Gramedia Tunjungan Plaza. Gue antri hampir 2 jam. Gue antri demi laki-laki yang bahkan gak pernah gue ajak kenalan. Antriannya panjang banget. Sampai Jakarta. Hehe. Gak deh, yang pasti antriannya panjang bet sampai keluar-keluar dari Gramedia itu sendiri.
Gue alhamdulillah dapet antrian depan, mangkanya nunggu 2 jam. Itu 2 jam kalo gue tinggal pipis non-stop, bisa-bisa istana negara kebanjiran tuh. Kebiasaan Radith sebelum muncul, dia suka ngebales mention para fansnya di twitter yang gak sabar buat ketemu. "Lagi dimana bang? Udah rame nih..."
Lalu, dijawab.
"Bentar ya anting gue ilang nih..."
"Bentar ya celana gue tiba-tiba copot sendiri nih..."
"Bentar ya sepatu roda gue ilang nih..."
Gimana? Udah percaya sekarang, kalau 8.9 followers-nya itu sebatas keluarganya sendiri?
Setelah lama, laki-laki yang ditunggu sejuta umat tadi keluar dari belakang. Semua orang teriak-teriak. Beda tipis sama kesurupan setan yang tititnya kejepit gerbang sekolah. Ugh.
Pegawai Gramedia yang cewek pun naik-naik meja. Atap-atap mulai roboh saking hebohnya kedatengan artis. Gue mau ikutan teriak-teriak, takut digaplok satpam. Yaudah, gue nunggu antrian yang makin lama makin tipis.
Giliran gue maju. Gue ngasih ponsel gue ke petugas yang bertugas memfoto pembaca dan si Radith. Waktu berada di samping Radith, gue grogi asli. Gue mau ajak ngobrol, takut dikata sok kenal. Gue mau ajak makan, takut dia-nya udah makan duluan. Gue mau ajak nonton, takutnya gue dilindes pake mobilnya. Yaudah, akhirnya gue cuma ngasih buku Koala Kumal gue biar dikasih tanda tangannya. Ternyata apa yang ada di TV gak beda jauh sama aslinya. Nih ya, yang gak percaya Radith itu laki-laki, gue udah cek pake mata kepala dan mata kaki gue sendiri.
Dia positif laki-laki.
Habis itu, kita pose untuk foto bareng. Kejadiannya cepet banget. Si petugas tadi tiba-tiba bilang, "Oke, sudah," sambil ngasih ponselnya balik ke gue. Gue pun ambil kesempatan buat megang tangannya Radith. Pas udah selesai ditanda-tanganin, gue salaman sama dia. Iya, dia positif MANUSIA BENERAN! WAH. Gila ya gue. Bener-bener gila dalam arti yang sebenarnya.
Sambil merasakan kehangatan tangannya... (kok jijik ya) hapus hapus!
Sambil salaman, gue bilang, "Makasih bang udah nyempetin jauh-jauh dari Jakarta ke Surabaya buat ketemu sama aku doang."
Gak deh. Gue bilang, "Makasih, bang," sambil gemeteran satu badan. Dia pun cuma ngangguk doang sambil senyum. Iya, gue 2 jam nunggu dia sampe gempor, dibales senyum doang, gais. Disitu saya kadang ... udah ah.
Setelah itu, gue keluar dan ketemu sama teman-teman baik gue. Yang rela nungguin gue buat ketemu laki-laki yang bahkan sekarang sudah lupa sama muka gue sendiri. Mereka juga seneng sih, gue ajakin ngelihat artis secara langsung. Ada nih satu temen gue yang histeris waktu Radith muncul. Teriak-teriak sampe pengin gue paku mulutnya. Berisik banget saking senengnya.
Dalam sejarah kehidupan gue sendiri, gue gak pernah sesenang itu hanya untuk ketemu dengan seorang laki-laki. Maklum lah, kita pada jarang ketemu artis. Sekali ketemu ya gitu, gak tahu malu. Malah kemaluannya yang kemana-mana.
Mimpi, gais. Semuanya bermula dari mimpi. Dari mimpi, kita punya harapan. Kita punya sesuatu yang dikejar. Kita punya sesuatu yang layak diwujudkan. Dan, kita punya sesuatu yang layak dinikmati. Ya gimana sih rasanya sebuah mimpi itu terwujud?
Ya gitu.
Yaudah gitu.
Pokoknya gitu.
Gue telah berhasil membuat temen-temen gue pada iri hati. Hehe
Ini nih, fotonya.
Kalo kamu bingung ngebedain, yang Radith sebelah kanan, yang kiri itu bukan siapa-siapa. Aku nya yang pake baju merah yang pake batu akik.
Sebenarnya, hak orang juga kok untuk ketawa pada mimpi kita. Mulut, mulut dia. Bibir, bibir dia. Pantat pun, pantat dia. Yang pasti kita bermimpi untuk diwujudkan, kalopun nantinya ditertawakan, asal mimpinya kewujud, terus siapa yang ketawa pada akhirnya?
Kita sendiri.
Terima kasih ya, sudah mampir kemari. Besok-besok main ke rumah ya, siapa tahu mama merestui... kamu jadi pembantu.
Waktu SMP dulu, gue pernah ketangkep basah main ponsel waktu ujian berlangsung. Waktu itu, badan gue masih kurus (Alhamdulillah sekarang juga masih kurang gizi), rambut gue belah pinggir, dan jarang senyum ke orang-orang. Ibarat kata, gue waktu itu kayak anak laki-laki yang sengaja dihilangkan dari daftar nama kartu keluarga.
Di tahun pertama, gue masih gelapagapan kalau disuruh ngomong sama orang lain. Gue gak akan ngobrol kalau gak ada butuhnya. Mau minjem alat tulis ke temen aja susah.
'Emm.. aku boleh minjem pentilnya, gak?'
'PENTIL?'
'Iya, pentilku patah soalnya.'
Satu menit kemudian gue baru sadar gue salah ngomong pensil jadi pentil.
'Gak ada. Pentil aku juga kemarin dipinjem orang tapi gak dibalikin.'
Ternyata, temen cowok gue tadi juga sama begonya. Kemudian, di tahun ketiga di SMP, gue mulai berubah menjadi murid yang agak nakal. Gue suka memainkan perasaan guru dan jadi bandar judi. (Becanda)
Gue udah berani niru-niru kelakuan yang kurang baik; ngeluarin baju seragam, kaus kaki dilipet sampai kedalam sepatu, dan pipis tanpa disiram. Gue juga udah punya hape sendiri. Itu pun pake uang gue sendiri, didapat dari hasil kerja keras gue sunat waktu lulus SD. Hebat ya, sekali sunat, dapet hape. Mungkin besok kalau gue sunat lagi, gue bisa beli mobil. (Iya, mobil ambulance)
Sampai suatu hari, ujian tengah semester pun tiba. Suasana ujian kebetulan lagi sepi, (Lah kan emang sepi), mata pelajarannya lagi gampang banget hari itu, ujian pendidikan jasmani dan rohaye. Semenit dibagiin, paling udah selesai. Ada remedial sekali pun, paling mentok juga disuruh beli bola kaki yang harganya 2 ribuan. Mangkanya, waktu itu gue agak meremehkan ujian beserta pengawas ujiannya.
Nah, disinilah semua tragedi itu terjadi.
Gue mainan hape di bawah kolong meja waktu ujian. Gue lagi chattingan sama cewek yang berada dua bangku di depan gue. Ceritanya, si cewek tadi minta gue jadi pacar bayarannya beberapa hari sebelumnya. Lucunya, gue gak dibayar sama sekali. Lucunya lagi, gue mau mau aja digituin.
Klise. Si pacar gadungan gue tadi pengin manas-manasin mantannya doang berlomba siapa yang punya kehidupan yang lebih baik setelah putus. Kayak sepeda motor ibaratnya, dipanasin mulu. Yaudah, kita chatting-an lewat mxit (aplikasi semacam Line, yang sekarang sudah punah) dengan kata sayang-sayangan.
'Gy ngaps nih, yank?' gue nanya sambil minta digampar. Jelas-jelas lagi ujian.
'Buta, ya, mas? Ini kan lagi mxit-an.'
'Ih siapa tahu kamu lagi kangen aku. Ha99x.'
Jijik ya lama-lama.
Karena gue terbuai oleh canggihnya teknologi saat itu, gue sampai lupa kalau ujian masih berlangsung. Suasananya masih tetap hening sampai tiba-tiba ada pengawas ujian yang berjalan cepat ke arah gue dan...
'Sini. Kasih hapenya!'
Gue rencananya mau ngelawan dan ngelempar hape gue ke luar jendela dan berkata, 'Tuh. Sana ambil, kalau berani.'
Nyatanya gue yang gak berani. Kalau kalian udah kelas 3, dan mau Ujian Nasional, nyawa kalian sekarang berada di tangan para guru. Hape gue diambil paksa, seperti preman yang ngambil permen dari mulut bayi. Gue pun langsung merenung dalam kesendirian dan mulai bertanya-tanya seperti dalam suatu adegan sinetron, 'Gue semalem mimpi apa ya kok bisa jadi begini?'
Saat jam ujian berakhir. Gue ke meja pengawas dan mulai dihakimi. Kalau waktu itu beneran sinetron, mungkin dia adalah majikan yang kaya raya, sedangkan gue hanyalah asisten rumah tangga yang dimarahin gara-gara mecahin piring plastik kesayangannya.
'Ini hapenya besok diambil orang tua kamu di meja guru. Biar mereka tahu kelakuan anaknya si sekolah seperti apa. Kecil-kecil kok sudah pacaran?!'
Dalam hitungan detik, bukan hanya bibir gue yang pecah-pecah, tapi hati gue juga.
'Jangan Bu. Saya janji gak bakal main hape lagi waktu ujian. Itu bukan pacar saya kok, Bu. Saya aja gak tahu cara nembak cewek gimana, Bu. (Bohong abis). Saya mohon jangan panggil orang tua saya, Bu.'
Gue berkata sambil mau nangis. Gue juga pernah baca artikel bahwa jika bola mata seseorang kearah kiri saat diajak berbicara, maka dia berbohong. Sebaliknya, jika bola matanya kearah kanan, maka dia berkata jujur. Yaudah, gue berusaha fokus ke arah kanan. Tapi malah jadinya gue ngelirik ke atas bawah kanan kiri depan belakang.
'Ini bocah matanya juling kali ya,' batin pengawasnya.
Kalau waktu itu memungkinkan buat gue sujud di hadapannya, mungkin bakal gue lakukan. Untungnya beliau gak minta hal yang sedemikian rupa. Berhala kali, perlu disembah. Setelah melewati negosiasi yang panjang, si pengawas ujian yang cantik ini (kata suaminya) akhirnya luluh dan mengembalikan hapenya ke tangan gue yang penuh dengan keringat. Uang hasil sunat itu pun sudah berada di tangan yang aman. Gue lega selega-leganya orang lega.
Kemudian, gue keluar kelas dengan hati yang lapang. Disana, gue udah ditunggu sama temen-temen gue, seakan-akan gue barusan masuk zona tidak aman dan akhirnya masuk ke babak final. Mereka semua baik banget, rela nungguin gue disidang di dalam kelas.
'Lo gakpapa?'
'Tadi ditanya apa aja?'
'Lo sempet mau ngegampar mukanya gak?'
Gue cuma senyum-senyum aja sambil satu badan panas adem semua. Setelah tragedi itu, gue trauma jadi pacar bayaran. (Secara gak dibayar, bro) (Palingan juga gak ada yang nawarin). Gue juga trauma mainan hape waktu ujian. Yang pasti, mulai hari itu gue udah stop bawa hape di saku celana pas ujian. Gak peduli Ujian Semester kek, Ujian Nasional kek, Ujian deres kek, gue trauma.
Emang bener ya, kadang guru itu memberi pengalaman yang terbaik. Dan seperti tulisan bijak yang ada di buku tulis, pengalaman adalah guru yang terbaik.
Di tahun pertama, gue masih gelapagapan kalau disuruh ngomong sama orang lain. Gue gak akan ngobrol kalau gak ada butuhnya. Mau minjem alat tulis ke temen aja susah.
'Emm.. aku boleh minjem pentilnya, gak?'
'PENTIL?'
'Iya, pentilku patah soalnya.'
Satu menit kemudian gue baru sadar gue salah ngomong pensil jadi pentil.
'Gak ada. Pentil aku juga kemarin dipinjem orang tapi gak dibalikin.'
Ternyata, temen cowok gue tadi juga sama begonya. Kemudian, di tahun ketiga di SMP, gue mulai berubah menjadi murid yang agak nakal. Gue suka memainkan perasaan guru dan jadi bandar judi. (Becanda)
Gue udah berani niru-niru kelakuan yang kurang baik; ngeluarin baju seragam, kaus kaki dilipet sampai kedalam sepatu, dan pipis tanpa disiram. Gue juga udah punya hape sendiri. Itu pun pake uang gue sendiri, didapat dari hasil kerja keras gue sunat waktu lulus SD. Hebat ya, sekali sunat, dapet hape. Mungkin besok kalau gue sunat lagi, gue bisa beli mobil. (Iya, mobil ambulance)
Sampai suatu hari, ujian tengah semester pun tiba. Suasana ujian kebetulan lagi sepi, (Lah kan emang sepi), mata pelajarannya lagi gampang banget hari itu, ujian pendidikan jasmani dan rohaye. Semenit dibagiin, paling udah selesai. Ada remedial sekali pun, paling mentok juga disuruh beli bola kaki yang harganya 2 ribuan. Mangkanya, waktu itu gue agak meremehkan ujian beserta pengawas ujiannya.
Nah, disinilah semua tragedi itu terjadi.
Gue mainan hape di bawah kolong meja waktu ujian. Gue lagi chattingan sama cewek yang berada dua bangku di depan gue. Ceritanya, si cewek tadi minta gue jadi pacar bayarannya beberapa hari sebelumnya. Lucunya, gue gak dibayar sama sekali. Lucunya lagi, gue mau mau aja digituin.
Klise. Si pacar gadungan gue tadi pengin manas-manasin mantannya doang berlomba siapa yang punya kehidupan yang lebih baik setelah putus. Kayak sepeda motor ibaratnya, dipanasin mulu. Yaudah, kita chatting-an lewat mxit (aplikasi semacam Line, yang sekarang sudah punah) dengan kata sayang-sayangan.
'Gy ngaps nih, yank?' gue nanya sambil minta digampar. Jelas-jelas lagi ujian.
'Buta, ya, mas? Ini kan lagi mxit-an.'
'Ih siapa tahu kamu lagi kangen aku. Ha99x.'
Jijik ya lama-lama.
Karena gue terbuai oleh canggihnya teknologi saat itu, gue sampai lupa kalau ujian masih berlangsung. Suasananya masih tetap hening sampai tiba-tiba ada pengawas ujian yang berjalan cepat ke arah gue dan...
'Sini. Kasih hapenya!'
Gue rencananya mau ngelawan dan ngelempar hape gue ke luar jendela dan berkata, 'Tuh. Sana ambil, kalau berani.'
Nyatanya gue yang gak berani. Kalau kalian udah kelas 3, dan mau Ujian Nasional, nyawa kalian sekarang berada di tangan para guru. Hape gue diambil paksa, seperti preman yang ngambil permen dari mulut bayi. Gue pun langsung merenung dalam kesendirian dan mulai bertanya-tanya seperti dalam suatu adegan sinetron, 'Gue semalem mimpi apa ya kok bisa jadi begini?'
Saat jam ujian berakhir. Gue ke meja pengawas dan mulai dihakimi. Kalau waktu itu beneran sinetron, mungkin dia adalah majikan yang kaya raya, sedangkan gue hanyalah asisten rumah tangga yang dimarahin gara-gara mecahin piring plastik kesayangannya.
'Ini hapenya besok diambil orang tua kamu di meja guru. Biar mereka tahu kelakuan anaknya si sekolah seperti apa. Kecil-kecil kok sudah pacaran?!'
Dalam hitungan detik, bukan hanya bibir gue yang pecah-pecah, tapi hati gue juga.
'Jangan Bu. Saya janji gak bakal main hape lagi waktu ujian. Itu bukan pacar saya kok, Bu. Saya aja gak tahu cara nembak cewek gimana, Bu. (Bohong abis). Saya mohon jangan panggil orang tua saya, Bu.'
Gue berkata sambil mau nangis. Gue juga pernah baca artikel bahwa jika bola mata seseorang kearah kiri saat diajak berbicara, maka dia berbohong. Sebaliknya, jika bola matanya kearah kanan, maka dia berkata jujur. Yaudah, gue berusaha fokus ke arah kanan. Tapi malah jadinya gue ngelirik ke atas bawah kanan kiri depan belakang.
'Ini bocah matanya juling kali ya,' batin pengawasnya.
Kalau waktu itu memungkinkan buat gue sujud di hadapannya, mungkin bakal gue lakukan. Untungnya beliau gak minta hal yang sedemikian rupa. Berhala kali, perlu disembah. Setelah melewati negosiasi yang panjang, si pengawas ujian yang cantik ini (kata suaminya) akhirnya luluh dan mengembalikan hapenya ke tangan gue yang penuh dengan keringat. Uang hasil sunat itu pun sudah berada di tangan yang aman. Gue lega selega-leganya orang lega.
Kemudian, gue keluar kelas dengan hati yang lapang. Disana, gue udah ditunggu sama temen-temen gue, seakan-akan gue barusan masuk zona tidak aman dan akhirnya masuk ke babak final. Mereka semua baik banget, rela nungguin gue disidang di dalam kelas.
'Lo gakpapa?'
'Tadi ditanya apa aja?'
'Lo sempet mau ngegampar mukanya gak?'
Gue cuma senyum-senyum aja sambil satu badan panas adem semua. Setelah tragedi itu, gue trauma jadi pacar bayaran. (Secara gak dibayar, bro) (Palingan juga gak ada yang nawarin). Gue juga trauma mainan hape waktu ujian. Yang pasti, mulai hari itu gue udah stop bawa hape di saku celana pas ujian. Gak peduli Ujian Semester kek, Ujian Nasional kek, Ujian deres kek, gue trauma.
Emang bener ya, kadang guru itu memberi pengalaman yang terbaik. Dan seperti tulisan bijak yang ada di buku tulis, pengalaman adalah guru yang terbaik.
Langganan:
Postingan (Atom)