Sabtu, 20 Agustus 2016

#MyCupOfStory – Menguar Memori

Kelopak mataku perlahan terbuka pada udara pagi—menelusuri setiap celah dan titik di langit-langit, lekukan ujung dinding, dan bunga sedap malam yang duduk bergeming di bingkai jendela. Berbaring tubuhku kaku di atas ranjang ini, dengan kulit bibir yang kering dan tangan yang masih lemah untuk dapat mengepal. Tendengar seperti bunyi alarm, namun tidak membisingkan. Suara itu datang dari alat monitor, yang bisa lebih bising jika terjadi henti jantung dan muncul flat line di elektrokardiogramnya. Ada titik di lenganku yang diinfus dan saluran hidung yang disumpal selang pernapasan.

Aku tidak sedang bangun tidur—aku tersadarkan.

Seorang suster masuk ke dalam ruangan dan hampir menjatuhkan cangkir yang ia bawa. Gerak-geriknya ganjil, seolah mengatakan aku adalah pasien yang tidak punya harapan untuk hidup namun mendapat keajaiban untuk pulih. Aku mengikuti langkah kakinya semakin mendekat dengan kedua bola mata. Dia menaruh secangkir kopi di meja putih samping tempat tidur. Aromanya menyeruak ke seluruh sudut ruangan. Seperti berlomba-lomba agar harumnya aku hidu.

Arabica Gayo Pantan Musara.

Aku tahu karena kopi itu juga berasal dari tempat kelahiranku dan tempat aku dibesarkan—Aceh. Hidung ini bahkan bisa merasakan tingkat keasaman yang tinggi dalam kopi itu. Telihat riak air di permukaan cangkir seperti riak pada sungai air keruh yang dilempari batu kerikil.

“Selamat pagi, Bapak Adrian.”

Daguku hanya mampu mengangguk kecil. Entah telah terbentur apa, namun kepalaku sakit saat mencoba mengingat sesuatu tentang wajah perempuan pengantar kopi ini. Dari lencana nama seragam, ia bernama Tania. Tapi memoriku mengatakan bahwa itu bukan nama yang ia sandang sejak lahir. Ada sekelibat kecenderungan di dalam pikiranku yang mencoba mengatakan bahwa aku telah mengenalnya sejak lama.

Ia menekan pelan dahiku untuk memeriksa suhu badan. Tubuhku terperanjat, seakan-akan mendapat sengat listrik yang menjalar sampai ke ujung jari kaki. Ada sesuatu di dalam sentuhannya yang mendamaikan diri. Seolah tidak asing, namun penuh dengan keakraban.

“Apa yang terjadi dengan saya?” tanyaku pada Tania saat ia menanyakan apakah aku baik-baik saja. Sempat bibirku ingin bertanya hal lain, apa yang terjadi dengan kita?

“Anda mengalami kecelakaan, lalu dilarikan ke rumah sakit ini dua bulan yang lalu.” Dia membuka tirai agar cahaya matahari menerobos masuk. Dua bulan telah koma, tambahnya. Itu berarti butuh dua bulan pula untuk perempuan itu berkata selamat pagi pertamanya kepadaku. “Syukurlah Bapak Adrian tidak mengalami gegar otak yang begitu parah.”

Aku mungkin tidak ingat bagaimana pastinya aku bisa berakhir di atas ranjang ini. Namun saat cahaya membasuh wajah perempuan itu, aku bisa melihat pupil matanya pekat seperti Tuhan menuang sepuluh gram espresso tanpa crema yang kelam dan menenangkan—seperti malam tanpa bintang—di atas matanya.

Suster itu bilang bahwa aku diagnosa mengalami amnesia retrograde. Struktur neuroanatomical di otak menghambat proses mengingat kenangan. Itu menjelaskan mengapa kepalaku sakit saat mencoba mengingat kejadian yang terjadi sebelum memasuki masa koma. Namun, aku yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara aku dan perempuan yang sedang berdiri di sampingku ini. Jauh sebelum hari ini terjadi. Jauh sebelum masa ini berlangsung.

“Apakah memori saya bisa kembali?”

“Ingatan bapak akan kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Orang tua anda menyuruh agar setiap pagi dan malam ada aroma kopi yang menemani bapak Adrian saat koma.”

Itu menjelaskan mengapa aku selalu bermimpi tentang kampung halaman. Duduk di depan rumah melihat deburan ombak yang menyapu basah bibir pantai dari kejauhan dengan aroma kopi itu. Selintas, terdengar ayah dan ibu berargumen kecil dari dalam dapur. Sedang, tanganku menggenggam seorang perempuan berkaca mata. Wajahnya sebagian ditutupi rambut yang diterpa angin laut. Rambutnya panjang bergelombang alami seperti samudra yang hitam. Lalu, semuanya hilang sedetik sebelum aku bisa meraih bibir merah muda untuk dapat menciumnya.

Suster Tania meraih ransel hitamku yang tergeletak di kursi yang bersandar pada tembok saat aku meminta tolong kepadanya. Ada sebuah buku gambar watercolor tebal, kuas, mangkuk kaca kecil, dan beberapa buku sketsa beserta alat tulis.

“Makan pagi akan segera diantarkan. Apakah ada yang hal yang bisa saya bantu lagi?”

Aku mendongak lalu mengamati bola matanya tanpa izin. Seolah ingin mengoleksi kembali ingatan dari tatapan. Tepat pukul tujuh, hatiku luruh. Wajahnya sama dengan gadis berkaca mata dalam mimpi. Berbentuk oval. Namun tidak ada aksesori di wajah Tania. Rambutnya kini lurus sempurna dan hanya sebahu.

Aku ingat sekarang, dan lebih yakin kali ini. Aku mengenal perempuan ini. Tapi aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang kuharap tidak terjadi. Mengapa kamu memanipulasi realita? Mengapa kamu berbohong pada diriku, dirimu, dan pada debu-debu yang melayang di antara terobosan matahari pagi? Tania bahkan bukan namamu. Jika seratus kali aku harus mengalami benturan kepala, maka semua hal tentangmu lah yang akan menjadi opsi terakhir bagiku untuk lupakan. Namun, sayang manusia tidak bisa memilih apa yang ingin dia lupakan. Dalam sekejap, suster itu menyadarkan lamunanku dengan memanggil nama Adrian dengan awalan bapak.

“Tolong jangan katakan orang tua saya, atau siapa pun, jika saya sudah pulih. Saya hanya butuh waktu sendiri. Dan jika boleh, saya ingin lem kertas.”

Ujung lidah ini terasa pahit. Seolah belum terbiasa bicara menggunakan kata ganti saya dengan perempuan ini. Dia mencacat pesananku di atas kertas pasien. Aku melihat punggungnya meluncur pergi membawa bayangan tubuhnya. Kopi di atas meja putih itu bukan untuk bibir atau lidah, namun hanya untuk hidung. Tubuhku butuh asupan nutrisi makanan terlebih dahulu setelah dua bulan terbujur lemah, kata suster. Ditambah, aku kembali ingat bahwa ayah pernah bilang waktu minum kopi yang baik adalah pukul sepuluh pagi.

Aku meminta kopi baru yang masih panas setelah makan pagi. Cepat-cepat aku cegah suster itu untuk membuang kopi tadi pagi karena aku membutuhkannya untuk melukis. Wajahnya bingung. Seharusnya kamu ingat bahwa aku suka melukis dengan media ampas kopi yang tertimbun di bawah cangkir. Aku mengatakan padanya bahwa aku menggunakan lem kertas untuk dicampur pada cairan kopi agar mengental dan tidak melebar saat ditorehkan di atas kertas gambar.

“Apa yang ingin anda lukis?” tanyanya dari jauh.

“Perempuan dalam mimpi saya.” Aku menjawab sambil menggambar sketsa kasar wajah sang penanya. Bedanya, dalam dunia nyata, wajahnya lebih jelas karena rambutnya tertata rapi dan tak menutupi wajah. Yang paling penting, wajahnya nyata. Entah kapan jariku bisa menggamit setiap titik kulit wajahnya lagi. Sebelum ia pergi memerika pasien lain, aku ingin mengabadikan wajahnya di atas kertas putih ini.

Saat ia benar-benar pergi menutup pintu dari luar, aku menyeret kursi dan meja di depan jendela yang sarat akan cahaya matahari. Setiap seniman butuh pencahayaan yang bagus. Butuh ketenangan dan kesabaran—sama halnya seperti menumbuhkan biji kopi yang baik dan segar, kata ayah di kebun kopi milik keluarga dahulu. Menggambar dengan kopi memakan waktu, karena setiap layer warna butuh kering sampai benar-benar bisa ditumpuk dengan layer warna kedua dan seterusnya.

***

Waktu bergulir cepat seolah bumi berputar dengan buru-buru. Esok sore, lekas setelah matahari karam, lukisan itu selesai. Warnanya menguat saat menjadi kering. Garis tepinya tebal dan tegas. Satu-satunya hal yang aku gunakan untuk mewarnai matanya adalah sisa double espresso yang dibuat oleh sang suster siang tadi. Kala tadi, aku mengurungkan niat untuk bertanya apakah dia tahu ada seseorang yang mengendap masuk lalu diam-diam mencium dahiku sewaktu tengah malam lalu—atau itu hanya mimpi bodohku saja.

Sekarang dia melayangkan pandagan pada lukisan monokromatis ini saat mengantarkan makan malam. Wajahnya berseringai mulus. Lalu, tangan lembutnya menutup tirai saat kelam malam datang. Aku bilang kepadanya bahwa aku telah memberi nama pada lukisan pertamaku, setelah dua bulan tertidur—dan memimpikannya.

“Mengapa namanya berlian hitam?”

“Karena perempuan ini mempunyai mata seperti warna biji kopi yang sudah dikeringkan. Harum. Pekat. Dalam. Dan, misterius. Seolah menyimpan sebongkah rahasia yang ingin terus digali, dan dikeruk hingga habis.”

Atau mungkin warna biji kopi lah yang meniru warna mata perempuanku.

“Dia pasti perempuan yang cantik.”

Banyak hal di dunia ini yang tidak menyadari tentang keindahan diri—terutama dirimu. Cukup sederhana alasannya. Karena kau lebih sering terdistraksi oleh keindahan orang lain, lalu membuat dirimu bimbang untuk berlama-lama berdiri menatap cermin. Lempar jauh dan buang pergi pemikiran itu, karena cermin tidak tahu bahwa keindahan bisa menyeruak dari dalam diri, dari cara tertawa, dari cara berpikir, atau dari serengit wajah setelah bersin.

Andai saja kamu bisa jadi diriku sekali saja, maka kamu tahu—hanya dalam hitungan detik—alasan mengapa aku menamaimu berlian hitam.

“Apa lukisan ini tidak mengingatkanmu pada seseorang?” aku bertanya. Apa lukisan ini tidak mengingatkanmu pada dirimu sendiri? Ulangku dalam hati. Ia hanya menggeleng sejenak. Itu bukan bahasa tubuh yang kumau. Tubuhku terkulai lemas. Mungkin inilah saat di mana aku mengenal seseorang terlalu jauh sampai aku tidak sadar bahwa sebenarnya aku tidak mengenalinya sama sekali. Aku muak dengan sandiwara bodoh ini. Tak bisakah kau melihat bahwa aku sedang berusaha mengatakan bahwa aku sudah mengingatmu? “Namamu Alana.”

“Nama saya memang Alana, ini seragam milik saudari saya.”

“Kamu selalu mengeluh jika panas matahari menusuk kulitmu, tapi kamu tidak pernah merasa terusik saat panas membara di hatimu karena tutur bicaraku.”

“…”

“Kamu suka bersandar di antara akar pohon yang menjalar dan menatap langit yang berawan. Dinamis dan menenangkan, katamu.”

“…”

“Kamu selalu suka mencedok kecil vanilla ice cream affogato di ujung sendok yang kamu campur dengan potongan alpukat. Avocado affogato, kamu bilang. Padahal kamu tahu affogato tidak ada hubungan khusus sama avocadokarena yang mempunyai hubungan khusus itu adalah… kita.”

Kata terakhir itu hampir tercekat di dalam tenggorokan. Dia menatapku bingung. Mungkin tidak menatap, hanya melihatku keheranan. Telinganya asing terhadap setiap cerita yang aku muntahkan baru saja. Jujur aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini, atau di ujung sana—di dalam matanya. Tidak ada jiwa yang singgah di dalamnya. Seolah nyawa itu perlahan hilang dan terbuang saat napasnya menghembus keluar. Ratusan hari pernah kita lalui, saat dunia hanya milik berdua, seolah lenyap tergerus oleh hitungan detik.

Selama ini aku pikir melupakan itu hal yang sulit. Namun hal itu terjungkir balik baginya.

Aku masih ingat pertemuan pertama kita, sore penuh penat di kepala dan penuh pengunjung di sebuah kedai kopi. Kamu duduk di kursi seberang karena hanya itu kursi yang tersisa. Kamu bilang bahwa kamu percaya pada bulan puasa, bau surga ada di mulut manusia yang menjalankannya. Namun di hari lain, bau surga hanya bisa tertimbun di dalam biji kopi.

“Saya tidak mengerti maksud anda, pak Adrian.”

Terlambatkah bagiku untuk berharap esok hari kedua kelopak mataku terbuka pada kegelapan yang sunyi?

Apakah karena bagimu selama ini caraku mencintaimu keliru?

Atau mencintai seseorang dengan tulus itu sudah sewajarnya keliru?

“Adri. Panggil saja Adri.” Seperti yang selalu kamu lakukan dahulu, ingat? Raut wajahnya mengatakan tidak. Sudah lama tidak bertemu, namun kamu tak kunjung merindu. “Maafkan saya, tapi jika boleh saya tanya… Bagaimana keadaan saya waktu saya masuk rumah sakit ini?”

“Saya suster baru di sini. Dan, ayah saya adalah kepala rumah sakit ini.”

“Seberapa baru?”

“…”

“Bagaimana hidup anda sebelum menjadi suster?”

“…”

“Hal terakhir apa yang paling anda ingat?”

Lucu bahwa kepalaku yang terbentur, namun kau yang selalu melupa. Atau lebih tepatnya, sengaja melupa? Air mukanya berubah menjadi hilang akal, tak tahu kemana percakapan ini akan bermuara. Mulutnya terbuka dan tertutup seolah dirinya tak punya jawaban yang absolut tentang masa lalunya. Atau lebih tepatnya, sibuk menulis cerita palsu di masa lalu dalam pikirannya.

“Bercanda di atas ranjang dengan saudari saya sampai larut malam,” ucapnya pelan.

“Alana, tolong hentikan ini jika kamu sedang bercanda.” Suster itu termenung pada memorinya sendiri. Seolah terlalu banyak ingatan yang perlu ia gali. Memori yang tidak sengaja dilupakan, sekaligus memori yang sengaja tidak diingat. “Kakakmu, namanya Tania, sudah pergi. Sejak saat itu, kamu takut dengan jarum suntik. Serta benda tajam lain yang dapat menyakitimu. Maafkan aku, Alana.”

Kulit kepalaku bagaikan perlahan retak dan terbelah. Rasa ngilu yang menjalar seperti garis petir di langit malam ini membuatku mengerang kesakitan. Haruskah sesakit ini untuk mengingat sebuah kenangan? Secara cepat, aku mulai bisa kembali mengingat semua kejadian. Aku ingat saat Alana sedang terpukul mengurut pelipis di kursi depan mobil. Tanganku memegang setir dan satu lagi merangkul bahunya dari belakang. Hubungan kami tidak pernah direstui kedua orang tuanya. Waktu itu, lamaranku ditolak sang kepala keluarga. Ditambah lagi, Alana yang naik pitam dan memendam rasa bahwa ia selama ini tahu bahwa Tania adalah anak yang lebih dibanggakan daripada dirinya.

Aku melihat pedih dirinya runtuh dalam tangisan. Jalanan tidak lagi kupandang. Rasa sakit dalam kegelapan dengan cepat menyelimuti kita berdua. Sejenak aku berharap untuk sama-sama mati dalam keadaan tragis seperti kisah cinta klasik kesukaan kami. Namun, cinta dan raga butuh untuk diperjuangkan hidup-hidup untuk akhirnya bisa diabadikan.

Sekarang Alana menyadari diri dan memori miliknya yang sempat hilang. Aku ingin pergi dari sini, lirih katamu. Sebaiknya kita lebih hati-hati melangkah kali ini, tambahnya. Aku memeluknya dalam-dalam, supaya tidak jatuh ke dasar kekecewaan lagi. Bibirku akhirnya dapat mengecup dahinya pelan, berharap ia kembali ingat arti kenyamanan.

“Ingatkan aku lebih dalam, pada masa lalu.” Alana menggenggam balik remasan di antara jemariku saat berlari keluar dari rumah sakit. Secara harfiah, memang ini adalah rumah yang sakit. Kami mengendap keluar bagai pasien rumah sakit jiwa yang belum dan tidak bisa pulih dari kegilaan. Mungkin pada dasarnya, cinta haruslah gila. “Semua hal indah dan hal yang pahit,” tambahnya.

“Tapi, orang-orang di dunia ini berusaha mati-matian melupakan masa lalu yang pahit, Alana.”

“Aku tahu. Tapi, bukankah itu poin dari masa lalu? Jika yang ada hanya manis, kita tidak mungkin beranjak dari tempat lalu itu. Dan, rasa pahit lah yang menggiring kita ke masa depan. Aku ingat, seseorang pernah bilang bahwa tidak semua kopi harus disandingkan gula atau susu. Bukan maksud kopi untuk memahitkan lidah, namun memang begitu wujud aslinya.”

Apa aku sudah bilang bahwa keindahan bisa datang dari cara seseorang berpikir?

“Siapa orang itu?”

“Dia adalah seseorang yang selalu minum kopi americano setiap pagi. Arabica Gayo Pantan Musara adalah favoritnya. Selalu ingin ada crema yang terjaga di atasnya. Aku lupa nama orang itu, tapi sepertinya dia sedang berada di sisiku sekarang.” Alana menggodaku. Maaf jika aku lupa bilang bahwa senyumnya juga menenteramkan relung hati.

“Selain affogato, sudah ingat belum kalau kamu lebih suka flat white daripada cappunico?”

“Oh ya? Kupikir sebaliknya.” Aku tergelak mendengarnya.

Good girl. Memang yang benar adalah sebaliknya, aku hanya menguji ingatanmu.”

Kami mencinta seperti pasangan yang baru mengenal asmara. Kembang api meledak tanpa henti di dalam perut kami. Bersorak-sorak bahagia karena cinta seharusnya memang selalu begitu adanya. Saat benar-benar berhasil keluar dari rumah sakit, aku menggenggam tangannya lebih erat dan berlari dengan penuh tawa dan kejayaan. Kami bebas dari belenggu ingatan. Kami bebas untuk kembali mencinta dalam rintangan.

Kau tahu, Alana? Aku yakin bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi tidak semua kebahagiaan bisa dibeli, karena ada jenis kebahagiaan yang hanya bisa diberi. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang terbentuk dari lima huruf, satu kata, berjuta makna—cinta.


Dulu aku sudah mengenalnya seribu tahun, kini biar dia yang mengenaliku seribu tahun lagi.

AM


Blog ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

2 komentar:

bunsal mengatakan... Reply

I got back my breath, exactly at the last dot.

Great story, using great knowledge about coffee and great diction.

Me myself, try to write two different stories.
Feel free to re-visit..Thanks:

http://myidol88.blogspot.co.id/2016/08/pemburu-senja.html

http://fiksiana.kompasiana.com/muslifaaseani/gagah_57b7e81cce7e61c0371c8ea2

Unknown mengatakan... Reply

@Muslifa BunSal Aseani:Hi, Muslifa. Thank you so much for reading this, I do really aprreciate it. :)

Posting Komentar

 
;