Sabtu, 13 Agustus 2016

Tetangga Masa Gitu part 2: Buaya Betina

Seperti yang kalian duga, ini adalah lanjutan dari catatan sebelumnya. Oke, mari kita sebut ratu kita dengan sebutan Buaya Betina. Sembari kalian sedang membaca ini, pertentangan dalam rumah tangga (baca: indekos tangga) wanita itu masih berlanjut. 

Jadi, di depan rumah gue ada tempat duduk untuk nongkrong atau kalau dalam bahasa inggris artinya tempat untuk chatting and basically doing nothing. Kemarin malam, gue melihat sang suami buaya itu memakai singlet putih dengan celana kain lengkap dengan ikat pinggang yang menahan perut yang mecuat duduk di tempat itu. Ditambah dengan bulu keteknya yang menjalar sampai ke tembok Cina. Tipikal bapak-bapak zaman sekarang. 


Saat gue melintas, dia menghembuskan napas dengan keras. Kerasa sampai ke pantat. Beban yang harus dipikul olehnya nampak semakin berat setiap detiknya. Gue jujur kasihan, mukanya lesu kayak belum makan. Mau gue lempar daging mentah ke mukanya, takut ngamuk dan minta dagingnya digoreng dulu. 


Beberapa menit sebelumnya, dia habis menyantap kudapan ringan sebelum tidur, yaitu: omelan si buaya betina. Kenapa gue bisa denger? Karena gue punya kuping. Tapi kala itu dia marah gak sambil nyanyi, mungkin takut disawer warga pake sembako (Iya, jadi gula satu kilo diselipkan di tali kutangnya). Hari sudah sangat larut, waktu itu sudah jam 11 malam, gak mungkin lah dia nyanyi. Kemudian, di sanalah suaminya duduk, memegang ponsel di tangan kanan dan rokok di tangan kirinya. Pas gue menoleh, eh dia main tetris. 


Jadi, beberapa hari yang lalu gue akhirnya memberanikan diri untuk tanya ke mamak gue perihal kasus si wanita tercantik seindekos sebelah. Kita berdua lagi ada di dalam toko mamak gue, yang letaknya di samping tempat duduk tadi.


“Lah, kenapa tiba-tiba tanya begitu?”


“Ini, nganu, teman-temanku di facebook, mereka pengin tahu.”


Jadi, kalau ini dianggep dosa, gue akan sebutin nama-nama kalian biar masuk neraqa barengan. Pertemanan ini indah, bukan?


Malam saat gue mewawancarai narasumber (a.k.a orang yang melahirkan gue sendiri) itu, sedang turun hujan kecil yang menusuk lembut tanah dan bebatuan sekitar. Seperti kebanyakan reporter, gue merekam perbincangan kami dan gue yang nanya duluan. Awalnya gue bilang bahwa sebulan yang lalu, ada desas-desus yang mengatakan bahwa si Buaya Betina ini udah punya anak masih SD dan dia pernah datang mengunjungi “mama”nya ke tempat indekos.


Saat mendengar itu, kedua mata mamak gue tiba-tiba berkobar merah, tertawa sinis, menggesekkan kedua telapak tangan, lalu siap untuk memuntahkan kenyataan yang sebenarnya. Benar, ternyata si ratu sumur kita sudah punya anak. Bukan satu, dua atau tiga, tapi empat. Herannya adalah, gue selama ini gak tahu menahu. Tapi setelah gue baca-baca, emang buaya itu kalau sekali bertelur bisa sampai dua puluh biji sih.


Lebih lanjut, mamak gue bilang bahwa dia punya suami pertama yang tinggal 5 km dari tempat indekosnya. Kalau gue boleh kasih nama, dia dalah mantan pacar lima langkah yang sekarang jadi mantan suami lima kilo. Gila, ini orang. 


Gue akan memaparkan kronologis sejarah laki-laki siapa aja yang pernah singgah ke dalam perangkap buaya ini. Jadi, pada mulanya, dia punya suami—entah dari kapan, mungkin sejak zaman perang dingin. Intinya udah dulu sekali, namun si buaya belum menempati indekos rumah gue. Nah, sama suami inilah dia kemungkinan punya anak empat itu. Yang kalau ditambah satu di depannya, jadi empat belas.


Kemudian, saat dia pindah ke indekos rumah gue, dia membawa lelaki baru yang sama tingginya dengan dia itu. Tapi, udah ketebak kan, mereka pisyah ranjang karena si buaya kalau tidur selalu makan tempat dan makan ati orang di sebelahnya. Setelah pisah dan mencicipi beberapa lelaki kardus, akhirnya dia bersama lelaki baru yang sekarang masih bertahan—yang gue bilang mainan tetris malem-malem tadi. Badannya lebih besar dan lebih dewasa.


Belum kelar urusan, eh ternyata si bapak-bapak main tetris ini ternyata terungkap sudah punya istri lain terlebih dahulu. Kasihan aku sama kamu om, niatnya mau dapet lubang wanita, eh malah dapet lubang buaya. Selamat ya, oom. Aku turut prihatin.


“Padahal ya dek, istri tuanya itu putih dan chantique banget,” puji mamak gue. Bagi kalian yang belum sadar, secara tidak langsung, kalimat itu menyimpan ejekan bagi sang ratu buaya sejagad raya. Pantesan, gue akhir-akhir ini merasa bahwa passion gue adalah mencela orang diam-diam.


Jadi suatu hari, si buaya betina ini lagi ngamuk sama sang suami. Cewe kan gengsi dong, masa lagi berantem tapi satu ranjang sama cowo. 


“UDAH PULANG SANA!” tiru mamak gue waktu diwawancara.


Kalau di rumah sendiri kan enak, sang suami bisa tidur sofa depan rumah. Lah ini, kamar indekos yang dibuat kuburan lima orang aja gak cukup. Mau diusir ke mana lagi kalau gak ke rumah istri tuanya? Tidur di pinggiran sumur? Kan enggak.


Gobloque-nya adalah si suami ini minta jemput istri tuanya DI DEPAN RUMAH GUE. Aduh oom, lain kali kalau selingkuh pinteran dikit kenapa? Ambil kuliah semester pendek sanah. Logikanya, kalau situ selingkuh lalu didepak sama selingkuhan dan minta jemput istri tepat di depan kediaman selingkuhanmu, itu maksudnya mau apa? Mau berbangga diri terus pamer ke semesta?


“Aku dong, yang, udah selingkuh hari ini. Makin cinta gak kamo nya ama akoh?”


Jalan ke mana kek. Ketemuan di depan kuburan kek. Janjian di parkiran indomaret kek.


Kalau gue jadi istri tuanya, akan gue tarik tytydnya sampai lepas dan gue suruh dia telen sampe itu gelambiran tumbuh lagi di tempat asalnya. Gue ulangi terus sampai dia jadi pinteran dikit. Bukannya apa-apa ya, karena kebodohan sang suami itu, akhirnya mamak gue yang ikut kena imbasnya.


Beberapa hari setelahnya, si istri tua tentu balik lagi dong ke tempat dia jemput suaminya yang bermain dengan wanita lain ini. Di pagi itu, si istri tua ini sampe bawa-bawa anak yang seumuran gue (hint: gue umur 17 tahun), lapor mamak gue. 


Kalau mamak gue adalah ibu kos yang kejam, mungkin dia akan menghadang jalan istri tua itu sambil bertolak pinggang dan bilang:


“MAU APA LO KESINI?” sambil dagunya diangkat-angkat.


Tapi karena mamak gue gak punya urusan (kecuali kalau ada yang bayar uang sewa telat), akhirnya waktu si istri tua nanya di manakah kamar si buaya itu, mamak gue berbohong kalau si desye udah pindah tempat indekos. Untungnya waktu itu pagi, si buaya lagi kerja di tempat makan seberang jalan. 


Dih, kalau gue yang menjabat sebagai ibu kos saat itu, mungkin gue akan menunjukkan kamar mana yang dijadikan penangkaran sang buaya. Karena sejatinya gue tahu betapa sakitnya diselingkuhin. Gue ingin membela setiap insan manusia yang diselingkuhi oleh pasangannya untuk membalas dendam. Lebih licik lagi, akan gue suruh si istri tua ini untuk mendekam di atas kasur sambil menunggu sang selingkuhan suaminya pulang dari kerja. 


Waktu pas udah beneran pulang, gue ngebayangin si istri tua akan terlentang di atas kasur sambil tersenyum kuntilanak ke arah si buaya betina seolah ingin mau makan ari-ari bayinya Nasar.


“SURPRIISEEEE!!!”


Kemudian mereka akhirnya jambak-jambakan sampai gundul dan gue rekam pertengkaran mereka sampai jadi viral dan akhirnya mereka direktrut jadi upin & ipin jadi-jadian atas jasa gue. Dan gue pun jadi kaya dadakan. Hidup ini selalu indah jika hal hanya terjadi di dalam kepala.


Oke, semua orang punya masalah masing-masing di hidupnya. Hanya saja, ada beberapa yang tidak mampu menahan untuk dirinya sendiri—yang mengakibatkan suka teriak gak jelas di tengah malam. Hanya aja, ada beberapa pula yang suka mengumbar aib orang—yaitu gue (atas permintaan kalian). 


Sebagai catatan, gue tidak bilang apa yang dia lakukan itu salah dan pantas dapat barisan pertama paling depan di neraka nanti. Jadi kalian jangan sampai salah kaprah, si buaya betina ini gak ternak suami kok, tapi ternak suami orang. Wkwk


Semua orang, termasuk si dia (yang walaupun gue sebut buaya terus), pasti pengin punya orang yang tepat dalam suatu hubungan abadi di masa hidupnya. Cinta kan masalah kenyamanan, kata anaknya sule. Tapi membangun komitmen dan keluarga, menurut gue, butuh keajaiban. Dan satu-satunya keajaiban yang gue percaya adalah keajaiban yang datang dari dalam diri sendiri. 


Gue sering ngebecandain temen-temen gue yang mau nikah cepet-cepetan dengan pertanyaan, “Mau diracun apa mau dimadu?” yang terinspirasi dari lagu madu dan racun.


Semua bilang kalau gak mau dua-duanya (yaiyalah). Gak ada motif tertentu kenapa gue tanya begitu. Atau mungkin, secara tidak langsung gue mengatakan bahwa cinta itu hanya akan melakukan dua pilihan: membunuhmu atau menyakitimu.


Pas gue udah udah mau selesai wawancara, hujan ikutan latah mau reda juga. Eh gak tahunya, di tempat duduk sebelah toko, ada siapa? Ada si buaya wanjink itu lagi nyanyi dangdut. Meskipun terhadang tembok, siapa lagi wanita yang ada indekos rumah gue selain dia seorang? Nyanyi lagi. Untungnya, gue lagi-lagi gak tahu dia nyanyi lagu apa.


“Itu suara siapa, dek?” lucunya mamak gue sempat nanya begini di keadaan genting seperti itu. Kayak pemeran film yang sudah jelas-jelas denger ada tuyul ketawa, tapi tetap nanya, “Itu suara siapa, dek?”


“KUCING, MAK. KOCINK!” jerit gue dalem ati.


Gue sama mamak gue kelabakan grusak-grusuk mencari tempat untuk sembunyi. Saking asiknya ngobrolin orang, kita berdua tergerus dalam kesenangan membongkar aib orang sampai lupa kalau dia itu jaraknya gak sampai 50 meter dari tempat kami melakukan sesi wawancara. Mamak gue nyengir dan sedikit menyesal kenapa gak ada yang nyadar si boayahhh itu sudah nangkring di situ. Entah sejak kapan, bodo amat. Gue berseringai aja sedari tadi karena ini berarti gue gak akan dosa karena ngomongin orang di belakangnya, karena dalam kasus ini gue ngomongin orang di sampingnya. Wakakaka


Terima kasih.




Cerita bonus


Sore tadi gue mendengar percakapan tipis antara dua orang laki-laki yang juga merupakan orang indekos sebelah. Yang satu laki-laki perantauan, yang satu lagi laki-laki yang suara dan kelakuannya mirip perempuan. (Jika kalian heran, mamak gue memang membuka indekos ini untuk semua jenis manusia—dengan satu syarat: mampu bayar.)

Laki-laki perantauan dengan suara beratnya berkata, “Habis mandi.” Sebuah basa-basi, mencoba untuk sopan.

“Oh mandi…” sahut si bancique. Lalu tiba-tiba ia menimpali lagi, “mandi apa?”


“MANDI BESAR”, jerit gue dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;