Kelopak mataku perlahan terbuka pada udara pagi—menelusuri setiap celah dan titik di langit-langit, lekukan
ujung dinding, dan bunga sedap malam yang duduk bergeming di bingkai jendela. Berbaring tubuhku kaku di atas ranjang ini, dengan kulit bibir yang kering dan tangan yang masih lemah untuk dapat mengepal. Tendengar seperti bunyi alarm, namun tidak membisingkan. Suara itu datang
dari alat monitor, yang bisa lebih bising jika terjadi henti jantung dan muncul
flat line di elektrokardiogramnya. Ada titik di lenganku yang diinfus dan saluran hidung yang
disumpal selang pernapasan.
Aku tidak sedang bangun tidur—aku tersadarkan.
Seorang suster masuk ke dalam ruangan dan hampir menjatuhkan cangkir
yang ia bawa. Gerak-geriknya ganjil, seolah mengatakan aku adalah pasien yang tidak punya
harapan untuk hidup namun mendapat keajaiban untuk pulih. Aku mengikuti langkah
kakinya semakin mendekat dengan kedua bola mata. Dia menaruh secangkir kopi di
meja putih samping tempat tidur. Aromanya menyeruak ke seluruh sudut ruangan. Seperti
berlomba-lomba agar harumnya aku hidu.
Arabica Gayo Pantan Musara.
Aku tahu karena kopi itu juga berasal dari tempat kelahiranku
dan tempat aku dibesarkan—Aceh. Hidung ini bahkan bisa merasakan tingkat
keasaman yang tinggi dalam kopi itu. Telihat riak air di permukaan cangkir
seperti riak pada sungai air keruh yang dilempari batu kerikil.
“Selamat pagi, Bapak Adrian.”
Daguku hanya mampu mengangguk kecil. Entah telah terbentur
apa, namun kepalaku sakit saat mencoba mengingat sesuatu tentang wajah perempuan pengantar kopi ini. Dari lencana nama seragam, ia bernama
Tania. Tapi memoriku mengatakan bahwa itu bukan nama yang ia sandang sejak
lahir. Ada sekelibat kecenderungan di dalam pikiranku yang mencoba mengatakan
bahwa aku telah mengenalnya sejak lama.
Ia menekan pelan dahiku untuk memeriksa suhu badan. Tubuhku terperanjat, seakan-akan mendapat sengat listrik yang menjalar
sampai ke ujung jari kaki. Ada sesuatu di dalam sentuhannya yang mendamaikan
diri. Seolah tidak asing, namun penuh dengan keakraban.
“Apa yang terjadi dengan saya?” tanyaku pada Tania saat ia
menanyakan apakah aku baik-baik saja. Sempat bibirku ingin bertanya hal lain, apa yang terjadi dengan kita?
“Anda mengalami kecelakaan, lalu dilarikan ke rumah sakit ini
dua bulan yang lalu.” Dia membuka tirai agar cahaya matahari menerobos masuk. Dua
bulan telah koma, tambahnya. Itu berarti butuh dua bulan pula untuk perempuan itu berkata
selamat pagi pertamanya kepadaku. “Syukurlah Bapak Adrian tidak mengalami
gegar otak yang begitu parah.”
Aku mungkin tidak ingat bagaimana pastinya aku bisa berakhir di atas ranjang ini. Namun saat cahaya membasuh wajah perempuan itu, aku bisa melihat pupil matanya
pekat seperti Tuhan menuang sepuluh gram espresso tanpa crema yang kelam dan menenangkan—seperti malam tanpa bintang—di
atas matanya.
Suster itu bilang
bahwa aku diagnosa mengalami amnesia retrograde. Struktur neuroanatomical di
otak menghambat proses mengingat kenangan. Itu menjelaskan mengapa kepalaku
sakit saat mencoba mengingat kejadian yang terjadi sebelum memasuki masa koma.
Namun, aku yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara aku dan perempuan
yang sedang berdiri di sampingku ini. Jauh sebelum hari ini terjadi. Jauh sebelum
masa ini berlangsung.
“Apakah memori
saya bisa kembali?”
“Ingatan bapak
akan kembali secara bertahap dari waktu ke waktu. Orang tua anda menyuruh agar
setiap pagi dan malam ada aroma kopi yang menemani bapak Adrian saat koma.”
Itu menjelaskan
mengapa aku selalu bermimpi tentang kampung halaman. Duduk di depan rumah
melihat deburan ombak yang menyapu basah bibir pantai dari kejauhan dengan
aroma kopi itu. Selintas, terdengar ayah dan ibu berargumen kecil dari dalam
dapur. Sedang, tanganku menggenggam seorang perempuan berkaca mata. Wajahnya sebagian
ditutupi rambut yang diterpa angin laut. Rambutnya panjang bergelombang alami
seperti samudra yang hitam. Lalu, semuanya hilang sedetik sebelum aku bisa
meraih bibir merah muda untuk dapat menciumnya.
Suster Tania
meraih ransel hitamku yang tergeletak di kursi yang bersandar pada tembok saat
aku meminta tolong kepadanya. Ada sebuah buku gambar watercolor tebal, kuas, mangkuk kaca kecil, dan beberapa buku
sketsa beserta alat tulis.
“Makan pagi akan
segera diantarkan. Apakah ada yang hal yang bisa saya bantu lagi?”
Aku mendongak lalu
mengamati bola matanya tanpa izin. Seolah ingin mengoleksi kembali ingatan dari
tatapan. Tepat pukul tujuh, hatiku luruh. Wajahnya sama dengan gadis berkaca
mata dalam mimpi. Berbentuk oval. Namun tidak ada aksesori di wajah Tania.
Rambutnya kini lurus sempurna dan hanya sebahu.
Aku ingat sekarang,
dan lebih yakin kali ini. Aku mengenal perempuan ini. Tapi aku tidak mengerti
apa yang sedang terjadi dan apa yang kuharap tidak terjadi. Mengapa kamu
memanipulasi realita? Mengapa kamu berbohong pada diriku, dirimu, dan pada
debu-debu yang melayang di antara terobosan matahari pagi? Tania bahkan bukan
namamu. Jika seratus kali aku harus mengalami benturan kepala, maka semua hal
tentangmu lah yang akan menjadi opsi terakhir bagiku untuk lupakan. Namun,
sayang manusia tidak bisa memilih apa yang ingin dia lupakan. Dalam sekejap, suster
itu menyadarkan lamunanku dengan memanggil nama Adrian dengan awalan bapak.
“Tolong jangan
katakan orang tua saya, atau siapa pun, jika saya sudah pulih. Saya hanya butuh
waktu sendiri. Dan jika boleh, saya ingin lem kertas.”
Ujung lidah ini
terasa pahit. Seolah belum terbiasa bicara menggunakan kata ganti saya dengan
perempuan ini. Dia mencacat pesananku di atas kertas pasien. Aku melihat
punggungnya meluncur pergi membawa bayangan tubuhnya. Kopi di atas meja putih
itu bukan untuk bibir atau lidah, namun hanya untuk hidung. Tubuhku butuh
asupan nutrisi makanan terlebih dahulu setelah dua bulan terbujur lemah, kata
suster. Ditambah, aku kembali ingat bahwa ayah pernah bilang waktu minum kopi
yang baik adalah pukul sepuluh pagi.
Aku meminta kopi
baru yang masih panas setelah makan pagi. Cepat-cepat aku cegah suster itu
untuk membuang kopi tadi pagi karena aku membutuhkannya untuk melukis. Wajahnya
bingung. Seharusnya kamu ingat bahwa aku suka melukis dengan media ampas kopi
yang tertimbun di bawah cangkir. Aku mengatakan padanya bahwa aku menggunakan
lem kertas untuk dicampur pada cairan kopi agar mengental dan tidak melebar
saat ditorehkan di atas kertas gambar.
“Apa yang ingin
anda lukis?” tanyanya dari jauh.
“Perempuan dalam
mimpi saya.” Aku menjawab sambil menggambar sketsa kasar wajah sang penanya.
Bedanya, dalam dunia nyata, wajahnya lebih jelas karena rambutnya tertata rapi
dan tak menutupi wajah. Yang paling penting, wajahnya nyata. Entah kapan jariku
bisa menggamit setiap titik kulit wajahnya lagi. Sebelum ia pergi memerika
pasien lain, aku ingin mengabadikan wajahnya di atas kertas putih ini.
Saat ia
benar-benar pergi menutup pintu dari luar, aku menyeret kursi dan meja di depan
jendela yang sarat akan cahaya matahari. Setiap seniman butuh pencahayaan yang
bagus. Butuh ketenangan dan kesabaran—sama halnya seperti menumbuhkan biji kopi
yang baik dan segar, kata ayah di kebun kopi milik keluarga dahulu. Menggambar
dengan kopi memakan waktu, karena setiap layer warna butuh kering sampai
benar-benar bisa ditumpuk dengan layer warna kedua dan seterusnya.
***
Waktu bergulir
cepat seolah bumi berputar dengan buru-buru. Esok sore, lekas setelah matahari
karam, lukisan itu selesai. Warnanya menguat saat menjadi kering. Garis tepinya
tebal dan tegas. Satu-satunya hal yang aku gunakan untuk mewarnai matanya
adalah sisa double espresso yang
dibuat oleh sang suster siang tadi. Kala tadi, aku mengurungkan niat untuk
bertanya apakah dia tahu ada seseorang yang mengendap masuk lalu diam-diam mencium
dahiku sewaktu tengah malam lalu—atau itu hanya mimpi bodohku saja.
Sekarang dia
melayangkan pandagan pada lukisan monokromatis ini saat mengantarkan makan
malam. Wajahnya berseringai mulus. Lalu, tangan lembutnya menutup tirai saat
kelam malam datang. Aku bilang kepadanya bahwa aku telah memberi nama pada
lukisan pertamaku, setelah dua bulan tertidur—dan memimpikannya.
“Mengapa namanya berlian
hitam?”
“Karena perempuan
ini mempunyai mata seperti warna biji kopi yang sudah dikeringkan. Harum.
Pekat. Dalam. Dan, misterius. Seolah menyimpan sebongkah rahasia yang ingin
terus digali, dan dikeruk hingga habis.”
Atau mungkin warna
biji kopi lah yang meniru warna mata perempuanku.
“Dia pasti perempuan
yang cantik.”
Banyak hal di
dunia ini yang tidak menyadari tentang keindahan diri—terutama dirimu. Cukup sederhana
alasannya. Karena kau lebih sering terdistraksi oleh keindahan orang lain, lalu
membuat dirimu bimbang untuk berlama-lama berdiri menatap cermin. Lempar jauh dan
buang pergi pemikiran itu, karena cermin tidak tahu bahwa keindahan bisa
menyeruak dari dalam diri, dari cara tertawa, dari cara berpikir, atau dari
serengit wajah setelah bersin.
Andai saja kamu
bisa jadi diriku sekali saja, maka kamu tahu—hanya dalam hitungan detik—alasan
mengapa aku menamaimu berlian hitam.
“Apa lukisan ini
tidak mengingatkanmu pada seseorang?” aku bertanya. Apa lukisan ini tidak mengingatkanmu pada dirimu sendiri? Ulangku
dalam hati. Ia hanya menggeleng sejenak. Itu bukan bahasa tubuh yang kumau.
Tubuhku terkulai lemas. Mungkin inilah saat di mana aku mengenal seseorang
terlalu jauh sampai aku tidak sadar bahwa sebenarnya aku tidak mengenalinya
sama sekali. Aku muak dengan sandiwara bodoh ini. Tak bisakah kau melihat bahwa
aku sedang berusaha mengatakan bahwa aku sudah mengingatmu? “Namamu Alana.”
“Nama saya memang
Alana, ini seragam milik saudari saya.”
“Kamu selalu mengeluh jika panas matahari
menusuk kulitmu, tapi kamu tidak pernah merasa terusik saat panas
membara di hatimu karena tutur bicaraku.”
“…”
“Kamu suka
bersandar di antara akar pohon yang menjalar dan menatap langit yang berawan. Dinamis
dan menenangkan, katamu.”
“…”
“Kamu selalu suka mencedok kecil vanilla ice cream
affogato di ujung sendok yang kamu campur dengan
potongan alpukat. Avocado affogato,
kamu bilang. Padahal kamu tahu affogato tidak ada hubungan khusus sama avocado—karena yang mempunyai hubungan khusus itu adalah… kita.”
Kata terakhir itu
hampir tercekat di dalam tenggorokan. Dia menatapku bingung. Mungkin tidak
menatap, hanya melihatku keheranan. Telinganya asing terhadap setiap cerita
yang aku muntahkan baru saja. Jujur aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi di
sini, atau di ujung sana—di dalam matanya. Tidak ada jiwa yang singgah di dalamnya.
Seolah nyawa itu perlahan hilang dan terbuang saat napasnya menghembus keluar.
Ratusan hari pernah kita lalui, saat dunia hanya milik berdua, seolah lenyap
tergerus oleh hitungan detik.
Selama ini aku
pikir melupakan itu hal yang sulit. Namun hal itu terjungkir balik baginya.
Aku masih ingat
pertemuan pertama kita, sore penuh penat di kepala dan penuh pengunjung di
sebuah kedai kopi. Kamu duduk di kursi seberang karena hanya itu kursi yang
tersisa. Kamu bilang bahwa kamu percaya pada bulan puasa, bau surga ada di
mulut manusia yang menjalankannya. Namun di hari lain, bau surga hanya bisa
tertimbun di dalam biji kopi.
“Saya tidak
mengerti maksud anda, pak Adrian.”
Terlambatkah
bagiku untuk berharap esok hari kedua kelopak mataku terbuka pada kegelapan yang
sunyi?
Apakah karena
bagimu selama ini caraku mencintaimu keliru?
Atau mencintai
seseorang dengan tulus itu sudah sewajarnya keliru?
“Adri. Panggil
saja Adri.” Seperti yang selalu kamu lakukan dahulu, ingat? Raut wajahnya mengatakan
tidak. Sudah lama tidak bertemu, namun kamu tak kunjung merindu. “Maafkan saya,
tapi jika boleh saya tanya… Bagaimana keadaan saya waktu saya masuk rumah sakit
ini?”
“Saya suster baru
di sini. Dan, ayah saya adalah kepala rumah sakit ini.”
“Seberapa baru?”
“…”
“Bagaimana hidup
anda sebelum menjadi suster?”
“…”
“Hal terakhir apa
yang paling anda ingat?”
Lucu bahwa
kepalaku yang terbentur, namun kau yang selalu melupa. Atau lebih tepatnya,
sengaja melupa? Air mukanya berubah menjadi hilang akal, tak tahu kemana
percakapan ini akan bermuara. Mulutnya terbuka dan tertutup seolah dirinya tak
punya jawaban yang absolut tentang masa lalunya. Atau lebih tepatnya, sibuk
menulis cerita palsu di masa lalu dalam pikirannya.
“Bercanda di atas
ranjang dengan saudari saya sampai larut malam,” ucapnya pelan.
“Alana, tolong
hentikan ini jika kamu sedang bercanda.” Suster itu termenung pada memorinya
sendiri. Seolah terlalu banyak ingatan yang perlu ia gali. Memori yang tidak
sengaja dilupakan, sekaligus memori yang sengaja tidak diingat. “Kakakmu,
namanya Tania, sudah pergi. Sejak saat itu, kamu takut dengan jarum suntik. Serta
benda tajam lain yang dapat menyakitimu. Maafkan aku, Alana.”
Kulit kepalaku bagaikan
perlahan retak dan terbelah. Rasa ngilu yang menjalar seperti garis petir di
langit malam ini membuatku mengerang kesakitan. Haruskah sesakit ini untuk
mengingat sebuah kenangan? Secara cepat, aku mulai bisa kembali mengingat semua
kejadian. Aku ingat saat Alana sedang terpukul mengurut pelipis di kursi depan
mobil. Tanganku memegang setir dan satu lagi merangkul bahunya dari belakang.
Hubungan kami tidak pernah direstui kedua orang tuanya. Waktu itu, lamaranku
ditolak sang kepala keluarga. Ditambah lagi, Alana yang naik pitam dan memendam
rasa bahwa ia selama ini tahu bahwa Tania adalah anak yang lebih dibanggakan
daripada dirinya.
Aku melihat pedih dirinya
runtuh dalam tangisan. Jalanan tidak lagi kupandang. Rasa sakit dalam kegelapan
dengan cepat menyelimuti kita berdua. Sejenak aku berharap untuk sama-sama mati
dalam keadaan tragis seperti kisah cinta klasik kesukaan kami. Namun, cinta dan
raga butuh untuk diperjuangkan hidup-hidup untuk akhirnya bisa diabadikan.
Sekarang Alana menyadari diri dan memori miliknya yang sempat
hilang. Aku ingin pergi dari sini, lirih katamu. Sebaiknya
kita lebih hati-hati melangkah kali ini, tambahnya. Aku memeluknya
dalam-dalam, supaya tidak jatuh ke dasar kekecewaan lagi. Bibirku akhirnya
dapat mengecup dahinya pelan, berharap ia kembali ingat arti kenyamanan.
“Ingatkan aku
lebih dalam, pada masa lalu.” Alana menggenggam balik remasan di antara jemariku
saat berlari keluar dari rumah sakit. Secara harfiah, memang ini adalah rumah
yang sakit. Kami mengendap keluar bagai
pasien rumah sakit jiwa yang belum dan tidak bisa pulih dari kegilaan. Mungkin
pada dasarnya, cinta haruslah gila. “Semua hal indah dan hal yang pahit,”
tambahnya.
“Tapi, orang-orang
di dunia ini berusaha mati-matian melupakan masa lalu yang pahit, Alana.”
“Aku tahu. Tapi, bukankah
itu poin dari masa lalu? Jika yang ada hanya manis, kita tidak mungkin beranjak
dari tempat lalu itu. Dan, rasa pahit lah yang menggiring kita ke masa depan.
Aku ingat, seseorang pernah bilang bahwa tidak semua kopi harus disandingkan
gula atau susu. Bukan maksud kopi untuk memahitkan lidah, namun memang begitu
wujud aslinya.”
Apa aku sudah
bilang bahwa keindahan bisa datang dari cara seseorang berpikir?
“Siapa orang itu?”
“Dia adalah
seseorang yang selalu minum kopi americano
setiap pagi. Arabica Gayo Pantan Musara adalah favoritnya. Selalu ingin ada crema
yang terjaga di atasnya. Aku lupa nama orang itu, tapi sepertinya dia sedang
berada di sisiku sekarang.” Alana menggodaku. Maaf jika aku lupa bilang bahwa
senyumnya juga menenteramkan relung hati.
“Selain affogato, sudah ingat belum kalau kamu
lebih suka flat white daripada cappunico?”
“Oh ya? Kupikir
sebaliknya.” Aku tergelak mendengarnya.
“Good girl. Memang yang benar adalah
sebaliknya, aku hanya menguji ingatanmu.”
Kami mencinta seperti
pasangan yang baru mengenal asmara. Kembang api meledak tanpa henti di dalam
perut kami. Bersorak-sorak bahagia karena cinta seharusnya memang selalu begitu
adanya. Saat benar-benar berhasil keluar dari rumah sakit, aku menggenggam
tangannya lebih erat dan berlari dengan penuh tawa dan kejayaan. Kami bebas dari belenggu
ingatan. Kami bebas untuk kembali mencinta dalam rintangan.
Kau tahu, Alana? Aku
yakin bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi tidak semua kebahagiaan
bisa dibeli, karena ada jenis kebahagiaan yang hanya bisa diberi. Kebahagiaan
itu adalah kebahagiaan yang terbentuk dari lima huruf, satu kata, berjuta
makna—cinta.
Dulu aku sudah
mengenalnya seribu tahun, kini biar dia yang mengenaliku seribu tahun lagi.